Mohon tunggu...
shafira Ramadhanty
shafira Ramadhanty Mohon Tunggu... Freelancer - Shafira

Mahasiswa SKSG UI 2020

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Kebijakan Joe Biden terhadap Isu Nuklir Iran

13 November 2020   17:59 Diperbarui: 13 November 2020   18:04 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemenangan Joe Biden atas Pemilihan Umum Presiden Amerika Serikat 2020 menuai banyak respon dari berbagai negara. Termasuk negara-negara dari Kawasan Timur Tengah. Para pemimpin negara-negara Arab mengucapkan selamat atas kemenangan Joe Biden, namun sejumlah pihak di kawasan Timur Tengah masih pesimis terhadap kebijakan AS selanjutnya di wilayah Timur Tengah.  

Selama ini, Trump memiliki hubungan yang baik dengan sejumlah pemimpin yang otoriter di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, Israel dan Turki dan membendung kekuatan Iran. Sementara Joe Biden akan mengubah beberapa hal terkait kebijakan luar negerinya salah satunya dengan bergabung kembali dengan perjanjian nuklir.

Iran merupakan ancaman keamanan bagi AS di Timur Tengah. Gawdat Bahgat beragumen bahwa Amerika merasa khawatir terhadap munculnya rezim pembangkang seperti Irak dan Taliban di Afghanistan yang secara vocal menentang kebijakan Amerika Serikat (Carlisle, 2010). Oleh karna itu, Perwakilan Khusus Brian Hook memperingatkan, pemerintahan AS berikutnya harus memahami bahwa “Ancaman terbesar yang dihadapi sekutu dan mitra kami di kawasan ini bukanlah konflik Palestina-Israel.

 Itu adalah Iran. Anda harus mulai dari sana”. Amerika menyadari bahwa iran sebagai negara yang potensial, mampu dan berpeluang melakukan transformasi dari program nuklir energi menjadi program nuklir senjata. Oleh karna itu Amerika melakukan tekanan ekonomi dan sanksi terhadap Iran.

Menurut Imad Mansour (2008) dalam tulisannya yang berjudul Iran and Instability in the Middle East : How Preferences Influence the Regional Order, berasumsi bahwa dengan ditempatkannya pangkalam militer Amerika di kawasan Timur Tengah sudah memicu semangat Iran dalam mengembangkan teknologi nuklirnya sebagai antisipasi potensi dari serangan AS. Akan tetapi pengembangan nuklir Iran tersebut juga menyebabkan terganggunya keamanan regional. 

Shamuel Bar dkk dalam tulisannya berjudul Iranian Nuclear Decision Making Under Ahmadinejad, mengatakan bahwa sikap yang dilakukan Iran dalam mempertahankan program nuklirnya untuk melindungi negara Iran dari potensi serangan dari luar. Hal ini didasari oleh pengalaman Iran dalam perang teluk yang meluluh-lantakkan Iran. Dari sanalah Iran tidak mau lagi ada potensi dari musuh regionalnya yang akan mengganggu keamanan nasionalnya sehingga nuklir sebagai teknologi mutakhir harus dimiliki oleh Iran sebagai senjata modern yang paling ditakuti seluruh negara di dunia.

Pada masa Barrack Obama disetujuilah perjanjian internasional JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action) yang diselenggarakan di Wina. JCPOA merupakan perjanjian yang dijalin antar 5 negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB (AS, Inggris, Perancis, Rusia, China) dan Uni Eropa yang diwakili oleh Jerman. Perjanjian ini membahas tentang kesediaan Iran untuk membatasi aktivitas nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi (Croft,  2013; Rozen, 2013) Akan tetapi, secara sepihak AS menarik diri dari JPOA karena menurut Trump, kesepakatan itu masih kurang lengkap karena tidak membahas masalah rudal balistik, aktivitas nuklir Iran pasca 2025, dan peran Iran di Suriah (Asmardika,2018)

Keluarnya Trump dari JCPOA ini mendapatkan respon negative oleh IAEA dan Uni Eropa. Menurut direktur IAEA, Yukiya Amano, Iran melaksanakan kesepakatan dan tunduk pada “rezim verifikasi nuklir paling kuat di dunia”. Sementara diplomat Eropa mengingatkan najwa setiap perubahan unilateral terhadap kesepakatan akan memicu kebuntuan kesepakatan dan kembali pada perselisihan masalah nklir di Timur Tengah (BBC, 2017) dan pada akhirnya Trump memutuskan untuk mundur secara sepihak dan memberlakukan sanksi-sanksi baru terhadap Iran.

Penyebab keluarnya Trump dari JCPOA karena faktor Israel dan kepentingan AS di Timur Tengah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh lembaga think tank terkemuka di AS, prioritas kepentingan nasional AS (nasional interest) hingga tahun 2025 adalah mempertahankan Israel dan penyelesaian proses perdamaian di Timur Tengah, terbukanya akses minyak, mencegah munculnya kekuatan lain (hegemon) yang keras, mencegah penyebaran senjata pembunuh massal, meningkatkan reformasi ekonomi dan politik melalui stabilitas politik, mengontrol gerakan teririsme (Lesser, et al., 2018:172). Dua di antara kepentingan utama AS adalah Israel dan minyak.

Iran sebagai negara yang sangat kaya akan minyak dan gas, serta mempunyai lokasi yang strategis di Teluk Persia, berani menentang dominasi AS di Timur Tengah dan perlawanannya terhadap imperialism Israel di Palestina. Hal ini menjadi ancaman bagi AS dan Israel dan memprioritaskan upaya nuklir sebagai alasan untuk menjatuhkan sanksi ekonomi dan menekan negara-negara dunia untuk memutuskan hubungan ekonomi dengan Iran.

Kebijakan Luar Negeri pada masa pemerintahan Trump dianggap gagal. Seperti yang dikatakan oleh ilmuan teori permainan (game theory) hubungan internasional terkemuka Bruce Bueno de Mesquita tentang Iran yaitu “there is nothing the United States can do to prevent Iran from pursuing nuclear energy? The more aggressively the U.S responds to Iran, the more likely it is that Iran will develop nuclear weopons” Pernyataan tersebut menyatakan bahwa AS memerlukan cara lain untuk menekan program pengembangan nuklir Iran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun