Beberapa minggu terakhir, hujan mengguyur Jakarta dengan intensitas yang tak lagi bisa diprediksi. Kadang datang di sore hari, kadang pagi-pagi tanpa aba-aba. Genangan muncul di sudut-sudut jalan, membuat warga kota berjalan lebih cepat, mencari atap, atau membuka benda paling underrated yang kita miliki dalam hidup sehari-hari: payung.
Saya termasuk yang jarang membawa payung, bukan karena tidak butuh, tapi karena merasa repot. Namun suatu hari, ketika mendadak hujan deras di sekitaran Setiabudi, dan saya berlindung di bawah atap halte bersama puluhan orang lain, saya perhatikan: mereka yang membawa payung bukan hanya lebih siap, tapi juga tampak lebih tenang. Ada sesuatu dalam cara orang membuka payung dan berjalan perlahan menembus hujan yang membuat saya berpikir benda ini, yang sering kita remehkan, menyimpan filosofi yang lebih besar daripada sekadar fungsi.
Dan ketika saya mencoba menelisik lebih dalam, ternyata bukan hanya saya yang merasa begitu. Payung, dalam sejarahnya, tidak pernah sekadar alat. Ia adalah lambang. Ia adalah identitas. Ia adalah bagian dari ritus sosial yang di masa lampau diperlakukan dengan penuh kehormatan.
Mari sejenak kita geser pandangan kita ke masa lalu, yang mana payung menjadi simbol privilage.
Simbol Kekuasaan di Masa Lalu
Di Tiongkok kuno pada masa Dinasti Zhou (sekitar 1046–256 SM), payung adalah barang mewah yang hanya bisa digunakan oleh kalangan bangsawan dan pejabat tinggi. Bahkan payung kerap dihiasi dengan sutra, ukiran emas, dan pegangan dari gading. Di Jepang, payung tradisional yang disebut wagasa digunakan dalam upacara-upacara keagamaan dan teater Noh, menunjukkan status dan martabat. Sumber dari The History of Umbrella oleh Marion Rankin (1925) mencatat bahwa sejak awal, payung bukan sekadar alat pelindung, melainkan lambang kuasa.
Di India, raja-raja dinasti Maurya dan Gupta bahkan menggunakan payung sebagai bagian dari simbol kerajaan. Begitu pula di Ethiopia dan Mesir kuno, di mana payung digunakan dalam prosesi religius untuk melindungi simbol dewa atau raja dari “panasnya dunia fana” bukan dari hujan, tapi dari “pengaruh buruk” dunia luar. Di beberapa masyarakat Afrika Barat, hingga hari ini, payung besar yang rumit masih digunakan dalam upacara penobatan kepala suku, menandakan bahwa hanya yang terhormat yang layak dipayungi.
Di Indonesia : Payung Dalam Ritual dan Martabat
Di berbagai wilayah di Indonesia, payung memiliki posisi yang sangat mulia dalam struktur budaya dan simbolik masyarakat. Di Minangkabau, misalnya, kita mengenal apa yang disebut payuang songket, payung besar berwarna-warni dengan kain songket berhias emas yang hanya digunakan dalam prosesi adat. Menurut riset dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatra Barat (BPNB Sumbar, 2020), payung ini tidak sekadar pelindung dari panas, melainkan simbol kehormatan dan garis keturunan. Pengantin yang diiringi payung berarti sedang diberi restu, martabat, dan dilindungi secara simbolik oleh leluhur dan masyarakat adat.
Ia juga menjadi simbol dari martabat keluarga dan garis keturunan yang dihormati. Tak sembarang orang bisa memegang payung itu. Biasanya, yang memayungi adalah tokoh terhormat "mamak" (paman dari pihak ibu) yang punya posisi penting dalam struktur adat. Dalam satu momen upacara, satu payung bisa menyampaikan status sosial, silsilah, hingga harapan.