Mohon tunggu...
Shafa Nur Shadrina
Shafa Nur Shadrina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi

Mahasiswa yang sedang belajar psikologi untuk memahami orang lain dan dirinya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik

Buzzer Politik dalam Kacamata Psikologi

31 Agustus 2022   12:27 Diperbarui: 1 September 2022   09:46 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Tracy Le Blanc from Pexels

Dewasa ini, kehidupan manusia tidak bisa lepas dari internet. HootSuite dan We Are  Social melakukan sebuah survei dan menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 73,7% dari populasi atau ada 202 juta orang yang menggunakan internet. Angka ini mengalami kenaikan 15,5% dari tahun lalu, kemungkinan hal tersebut merupakan dampak dari pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, di mana sebagian besar sektor harus beralih ke metode daring. Dari segi pengguna aktif media sosial di Indonesia berjumlah 170 juta orang dengan prevalensi pengguna terbanyak adalah laki-laki yang berada pada rentang usia 25-34 tahun sebanyak 19,3%. Tahun 2021 juga terjadi peningkatanya sebanyak 6,3% pada penggunaan media sosial di  Indonesia. Urutan media sosial dengan pengguna terbanyak adalah Youtube, lalu diikuti dengan Whatsapp, Instagram, Facebook, Twitter, dan menyusul media sosial lainnya. 

Maraknya penggunaan media sosial membuat banyak orang dengan beragam kepentingan  tertentu memanfaatkannya. Tak terkecuali oleh para politikus untuk menjalankannya agenda politiknya. Sebagai masyarakat yang demokratis, tentunya media sosial  menjadi alat komunikasi yang paling efektif untuk dimanfaatkan sebagai partisipasi politik karena memiliki komunikasi yang interaktif. Dua orang atau lebih dapat saling berinteraksi dengan mudahnya meskipun terpisah ratusan bahkan ribuan kilometer.

Latar belakang calon pemimpin hingga gaya kepemimpinannya dapat dengan mudah diketahui dari apa yang mereka unggah ke media sosial. Hal tersebut dapat membantu untuk memilih calon pemimpin mana yang sesuai dengan kriteria ideal kita. Banyak pemimpin politik yang telah memanfaatkan media sosial mereka untuk membangun citra  di mata masyarakat. Keberhasilan atas terciptanya citra yang baik  di depan masyarakat  akan diiringi  dengan meningkatnya elektabilitas pada saat menjelang pemilihan umum. Partai politik kini banyak yang memanfaatkan akun media  sosialnya guna meningkatkan kredibelitas partainya. Relasi penggunaan media sosial dan kampanye politik mulai memainkan peran penting sejak tahun 2014. Penelitian yang dilakukan oleh Ardha (2014) menunjukkan bahwa selagi penggunaan media sosial direncanakan,  dikomunikasikan, dan diprogram dengan baik, maka akan meningkatkan kredibilitas partai serta adanya berbagai jenis media sosial membuat kandidat poltik dapat terus berinteraksi dengan pendukungnya dan menerima dukungan.

Sudah tidak asing lagi ketika memasuki musim pemilu, berbagai jenis media sosial yang diakses akan memunculkan unggahan mengenai pasangan calon A, B, dan seterusnya. Algoritma turut berperan sehingga linimasa kita akan langsung memunculkan informasi mengenai calon pemimpin. Narasi saling menjatuhkan antarkandidat juga kerap kita temui. Bahkan argumen yang  diserang sudah tidak tergolong topik yang relevan, melainkan sudah masuk ke ranah ad hominem. Biasanya akun yang menggugah narasi menjatuhkan tersebut tidak hanya satu orang saja tetapi banyak orang. Mereka akan membangun topik yang akan menarik perhatian sehingga orang yang melihat postingan tersebut akan melupakan sejenak kepentingannya. Hal tersebut bertujuan untuk  memperkeruh suasana. Akun-akun tersebut sering kali memiliki pola inti pesan yang sama atau biasanya menggunakan ciri khas (Misalnya  pada Twitter yang memiliki fitur tagar), mereka akan menggunakan tagar yang sama. Akun-akun tersebut dikenal sebagai buzzer. 

Awal mulanya penggunaan kata buzzer bertujuan untuk memasarkan suatu produk atau jasa. Bahkan peneliti Centre of Inovation Policy and Governance (CIPG), Mohammad Rinaldi Camil, juga menyebutkan bahwa profesi buzzer adalah profesi yang legal. Namun, ketika buzzer sudah masuk ke dalam ranah politik, istilahnya sudah berkonotasi menjadi negatif. Pendapat, argumen, hingga dukungan dapat dilihat  oleh banyak orang dengan mudahnya dengan bantuan media sosial. Tak jarang masyarakat mengkritik kebijakan publik yang dibuat pemerintah ke dalam unggahan di  media sosialnya. Kadang kala apa yang diunggah mendapatkan retweet ataupun like dari orang lain yang memiliki pendapat yang sama. Tetapi tidak jarang pula akun yang mengkritik pemerintah tersebut akan mendapatkan 'serangan' dari buzzer. Jati dalam Sugiono  (2020) menjelaskan bahwa cara kerja buzzer dalam politik adalah membuat tweet atau unggahan  menggunakan bahasa yang akademis, menggugahnya menggunakan akun anonim, dan konten yang diunggah biasanya bersifat hit and run serta testing the water (Konten hanya bertujuan untuk melihat reaksi dari masyarakat dan biasanya bersifat sementara).

Dilansir dari laman Tirto, sejarah penggunaan buzzer dimulai ketika Pilgub DKI Jakarta  2012, kemudian dilanjutkan Pilpres 2014, Pilgub DKI Jakarta 2017, dan pada Pilpres 2019 dimana  para buzzer menyebarkan propaganda antar kedua kandidat. Buzzer sendiri dapat dibagi menjadi  dua, yaitu buzzer politik professional dan buzzer relawan. Perbedaannya terletak pada ada atau  tidaknya proses rekrutmen. Buzzer politik professional biasanya akan dilakukan open recruitment  terlebih dahulu dan akan dibayar jasanya. Berbanding terbalik dengan buzzer politik relawan. Kini  banyak yang menyebut buzzer politik profesional dengan BuzzeRp, tak lain karena mereka akan  dibayar. Salah satunya adalah ketika adanya RUU Cipta Kerja, banyak artis hingga musisi yang  menggugah dukungan terhadap RUU Cipta Kerja dengan tagar #IndonesiaButuhKerja yang justru dirasa banyak poin dalam RUU tersebut yang merugikan pekerja. Buzzer politik professional dapat mudah dikenali  karena memiliki identitas yang jelas, namun buzzer yang sering dijumpai di berbagai platform adalah akun-akun yang identitasnya tidak jelas tapi memiliki motif tertentu. Adanya anonimitas dalam media sosial kemudian dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menuliskan ujaran kebencian. Konten yang biasa diunggah oleh akun-akun buzzer dengan identitas yang tidak jelas tersebut biasanya bersifat misinformasi, menyebar hoaks, dan mengujarkan kebencian. Buzzer yang menjalankan aksi (yang mayoritas bersifat negatif) akan berlindung dalam anonimitasnya dan dapat dikategorkikan mengalami efek disinhibisi.

Suller (2004) menjelaskan bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan seseorang dalam internet belum tentu dilakukan juga di dunia nyata. Individu biasanya akan lebih bisa mengekspresikan diri ketika berada di internet. Mereka juga lebih berani untuk mengujar kebencian,  menyebarkan hoaks ketika berada di internet dibandingkan di dunia nyata. Suller (2004) menyebut  fenomena tersebut sebagai online disinhibition effect atau efek disinhibisi online. Adanya kesempatan untuk memisahkan  perilaku di internet dengan perilaku di dunia nyata, ditambah dapat menyembunyikan identitas asli dibalik akun anonim dapat melatarbelakangi perilaku buzzer yang menebar unggahan kebencian di internet, hal ini dikenal dengan istilah faktor dissociative anonymity (disosiatif anonimitas). Para buzzer akan merasa bahwa perilakunya di internet bukanlah diri mereka. Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa mayoritas akun buzzer yang kerap menggugah mengujar kebencian, menyebarkan hoaks, dan konten negatif lainnya tidak memiliki identitas yang jelas dengan username penuh dengan angka acak. 

Sehingga dapat disimpulkan bahwa buzzer dengan identitas yang tidak jelas yang kerap menyerang akun yang sedang mengkritik kinerja pemerintah ataupun lainnya merupakan bentuk dari efek disinhibisi. Unggahan yang didominasi oleh hal yang bersifat negatif bahkan membuat Febri Diansyah, mantan Juru Bicara KPK menyebutkan bahwa buzzer adalah hama demokrasi di cuitan Twitternya. Sebaiknya permasalahan buzzer ini lebih diperhatikan terlebih media yang  mereka gunakan adalah media sosial, dimana hasil survei yang dilakukan Hoot Suite dan We Are  Social menujukkan bahwa masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam 14 menit untuk mengakses media sosial. Dengan kata lain, buzzer yang terus menggugah muatan negatif juga akan berdampak pada kegiatan berpolitik di masa yang akan datang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun