Puji Tuhan, hari ini aku boleh menikmati beberapa tulisan para Kompasioner. Ternyata banyak tulisan yang sangat menarik dengan berbagai subjek/topiknya. Menambah wawasan dan memperluas cakrawala bagiku.
Aku ingn menanggapi Bulan Tinggal Setengah dari Mbak Fatmi.
Sejatinya, aku kurang bisa mengapresiasi sebuah puisi. Terbukti dengan nilai Pelajaran Sastraku kala SMA, selalu kurang dari 6. Sementara nilai Tata Bahasaku tak pernah kurang dari 9. (Guru Pelajaran Sastra kala itu Bapak B. Rahmanto; dan Guru Tata Bahasa  adalah Bapak Sunaryo).Â
Ya, aku kurang bisa mengapresiasi puisi. Tetapi aku sangat suka menikmati puisi. Mungkin saja interpretasiku atas sebuah puisi kurang pas. Karena memang sebagaimana pernah kutulis, diksi untuk sebuah puisi lebih didasarkan pada perasaan dan emosi, bukan untuk menggambarkan sebuah realita. Maka apresiasi pun didasarkan pada perasaan dan emosi pembaca. Pembaca yang satu akan memberi interpretasi berbeda dengan yang lain. (Maka sebenarnya tak boleh Guru Sastra hanya memberi nilai 6 untukku, hehe...)
Bulan Tinggal Setengah kurasa sesuai dengan perasaan dan gejolak yang pernah ada di hatiku. (atau Mbak Fatmi sengaja menyindir aku ya...?) Bahwa kerinduanku mengendap dan tertampung dalam keindahan rembulan. Bahwa matahari tak lagi sabar untuk segera merekah. Dan bahwa alam baka segera menggantikan hidupku yang fana, seolah kafan telah terbentang dan liang telah terbuka di depan mata.
Namun demikian, kerinduan yang mengendap dan masygul itu harus aku syukuri, karena aku menerima anugerah yang tak ternilai berupa kesehatan sampai di hari tua ini (Rezeki Tak Pernah Tertukar).
Bravo Mbak Fatmi, terus berkarya. Aku menyukai puisi Anda.