Mohon tunggu...
Servinus Bidangan
Servinus Bidangan Mohon Tunggu... Lainnya - Literasi Fiksi/nonfiksi

Membacalah seperti tak mengetahui apa-apa, dan menulislah seperti ingin memberitahu segalanya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Energi dan Tanggung Jawab Moral Lintas Generasi

11 Maret 2021   04:52 Diperbarui: 11 Maret 2021   05:01 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PLTS Bangli (BUMD) - Doc.2020

Beban moral akademisi dalam kerangka filosofis atau sering disebut dengan Aksiologi, adalah hal mendasar dalam upaya kesadaran intelektual tentang kegunaan serta dampak yang ditimbulkan jika suatu pengetahuan tersebut dilaksanakan dalam kaidah ilmiah. Oleh karena itu kejujuran dalam dunia akademisi ditekankan bukan hanya dalam bentuk karya tulis ilmiah saja, tetapi lebih mendasar lagi, akademisi diwajibkan untuk jujur dalam menanggapi suatu kajian ilmiah maupun yang bukan dengan keterbukaan masalah yang jujur berdasarkan pengetahuan yang sudah didapatkannya tentu saja. 

Apa saja yang menjadi masalah pada sektor energi terutama energi Fosil ?

Ini adalah pertanyaan korespondensi dari seorang teman melalui percakapan di grup telegram. Jika kita mencoba untuk melakukan investigasi masalah energi secara komprehensip, yang pada akhirnya kita menemui kesimpulan yang sangat koheren dengan masalah itu sendiri, yang tidak lain dan bukan yaitu Aturan dalam kebijakan. Nafas dan roh dalam setiap pembangunan adalah Peraturan dan kebijakan. Itu adalah masalah yang sangat sulit untuk diselesaikan jika persoalan teknis yang secara metodologis hanya berada di ujung yang ingin dijadikan penyeimbang solusi teknis, padahal hulunya adalah kebijakan. Dan yang paling dinanti-nantikan saat ini adalah Turunan dari UU NO.3  Tahun 2020 Tentang Minerba, ada 3 RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) dan 1 Perpres, yang merupakan ujung tombak secara teknis dalam pijakan aturan untuk pengelolaan energi terutama fosil.

Tetapi jika aturan pendahulunya sudah rentan dengan masalah, apa tidak menjadi bahan pertimbangan untuk dilakukan evaluasi sebagai upaya untuk mitigasi terhadap dampak yang ditimbulkan. Misalnya, Pada Pasal 83, perubahan aturannya tidak begitu menonjol dan terlihat sama saja dengan aturan lama yaitu UU Minerba Tahun 2009, yang tadinya kita berharap bahwa luas area eksplorasi dan produksi semakin diperkecil dan dipersempit jika kita benar-benar peduli terhadap masalah kerusakan yang ditimbulkan, terutama bekas galian lubang raksasa akibat pola dan metode penambangan yang masih primitif dan masih sangat konvensional yaitu penambangan terbuka. Oleh karena itu, masalah dimasa depan, akan tidak jauh berbeda dengan masalah dimasa saat ini. Berdasarkan aturan jangka waktunya yaitu 20 Tahun, maka 20 Tahun dari sekarang, kita masih akan melihat lubang raksasa bertebaran saat kita melihat dari atas pesawat. Dan itu adalah hadiah generasi saat ini kepada generasi dimasa yang akan datang. Itulah masalah. 

Bukankah hasil tambang ekstraktif adalah bahan baku sebagian komponen utama dalam energi terbarukan ?

Ini pertanyaan antitesis yang menjadi dasar pemikiran secara metodologis untuk mengiyakan sesuatu yang keliru dalam aspek moral sebagai seorang akademisi. Bahwa melihat energi bukan hanya melihat dari aspek komoditi, atau produk yang dihasilkan oleh karena pemanfaatan energi, tetapi lebih luas dan menyeluruh dari Hulu ke hilir. Dibeberapa tulisan sebelumnya, energi listrik itu tidak negatif dalam pemanfaatannya, tetapi dalam hal produksinya itu bisa negatif, dan bahkan dari sumbernya bisa sangat negatif dalam arti destruktif terhadap keseimbangan ekologis. Kemudian dalam pengelolaan energi inilah yang harusnya sangat konsen terhadap hal itu. Bagaimana kita mengelola energi itu dengan cara menyeimbangkan antara penggunaan energi fosil dan energi terbarukan secara merata terutama dalam aspek energi listrik yang menjadi ujung dari perjalanan perubahan energi itu dalam fungsinya sebagai bahan baku ketenagalistrikan di negara kita tercinta dan terindah ini. 

Tetapi upaya itu hanya sering digaungkan dalam bentuk pidato, konfrensi pers, dan upaya itu tidak terwujud nyata dalam aturan yang menjadi dasar dari semua persoalan ini. Terkadang kita lelah, jika disatu sisi ada dorongan untuk membumikan energi terbarukan, disisi lain ada begitu banyak masalah yang pada dasarnya timbul justru karena aturan itu sendiri. Jika faktor karena harga komoditi energi terbarukan lebih mahal daripada energi fosil, tentu itu sangat mudah dijawab. Berikan subsidi/subvensi untuk energi terbarukan secara komoditi, dan percayalah penggunaannya akan terus meningkat. Dan sebaliknya, berhenti untuk melakukan subsidi terhadap energi fosil, maka percayalah penggunaannya akan semakin berkurang. 

Terkadang, percakapan kecil yang terjadi di lingkungan kampus, menarik hati saya untuk memuat rangkuman kecil dan sederhana, untuk menjadi memoar dimasa yang akan datang, untuk menjawab masalah hari ini dikemudian hari. Mohon maaf, jika redaksi kata yang digunakan agak menggebu-gebu, hehehe karena cukup emosi dengan diskusi seperti "Ayam dan telur duluan mana". wkwkwkwk Semoga capaian keseimbangan antara penggunaan Energi fosil dan Energi terbarukan lebih agresif dikampanyekan. Sulit untuk membuat energi fosil pensiun, tetapi akan jauh lebih sulit jika kita hanya diam melihat dan tidak mendukung kampanye energi terbarukan, terus ditingkatkan dalam aktualisasi di lapangan. Sekian dan terima kasih telah membaca. Salam literasi 

Denpasar, 11 Maret 2021

PLTS Klungkung - Doc.Bali 2020
PLTS Klungkung - Doc.Bali 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun