Mohon tunggu...
Ndiken Sergi
Ndiken Sergi Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Almasuh - Papua

Tulis dan Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kursi Politis si Tukang Kayu

7 Juli 2019   12:14 Diperbarui: 7 Juli 2019   16:37 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://nasional.kompas.com

Akhir-akhir ini, pembahasan mengenai kursi di Negeri "Gemah Ripah Loh Jinawi" kian marak seperti suara gemuruh massa yang menghadiri kampanye para Calon Presiden. Intonasinya-pun kadang meninggi, kadang pula berada pada posisi stagnan. Semangatnya konon dapat disesuaikan dengan besar kecilnya bayaran dan komposisi nasi bungkus yang diberikan. 

Kalau nasi bungkus isinya daging rendang, suaranya akan lantang nyaring terdengar. Kalau nasi bungkus isinya tahu dan tempe, suaranya akan terdengar sedu sedan. Seperti judul lagu yang dibawakan oleh biduwan lengendaris Tatty Kadi, "Layu sebelum berkembang."

Sampai-sampai dua nama binatang yang viral dan heboh saat ini pun, mulai terdengar samar-samar ditutupi oleh kemunculan fenomena kursi. Kedua binatang yang menggemparkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, seperti hilang ditelan bumi. Mengapa, bagaimana, dimana, dan apa nama binatang-binatang tersebut!? anda pasti tau jawabanya.

Mumpung orang-orang di Jakarta sudah meng-hembuskan  gerakan rekonsiliasi nasional pasca Pemilu  2019, sehingga ekspektasinya, nama kedua binatang tersebut jangan lagi dibawa-bawa ke dalam kehidupan manusia. Biarkan mereka hidup bebas dan lepas di alamnya. Jangan lagi kita para manusia mengusik kehidupan kedua binatang tersebut.

Lebih jauh lagi, kursi rupanya mempunyai daya tarik tersendiri. Banyak kegunaan dari kursi yang membuat manusia sedikit terbantukan. Diantaranya, kita tidak kecapaian berdiri. Kegunaan kursi membuat kita merasa nyaman pada saat duduk. Apalagi kursi yang empuk, sehingga kadang-kadang membuat orang yang duduk bisa lupa diri. Bahkan karena terasa sangat asyik dan nyaman, segala cara akan dilakukan untuk mempertahankan eksistensi kursi tersebut.     

Asal jangan karena persoalan kursi, membuat kita lupa teman, sahabat, saudara-bersaudara, dan kolega. Yang tidak kala pentingnya jangan sampai lupa istri. Sebab kalau lupa istri, nanti bisa kualat bumi dan akhirat.

Perebutan kursi kekuasaan politis, sering membuat para elit politik lupa akan subtansi realitas persoalan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan keseharian. Perebutan kursi dapat membutakan mata,hati dan logika manusia.

Kursi yang sangat empuk dapat membuat para elit politik lupa tentang persoalan pelanggaran Ham, persoalan Sosial, persoalan Ekonomi, Persoalan Kesehatan, persoalan Intoleransi antar umat beragama dan lain sebagainya.

Perebutan Kursi kekuasan politis, sering membuat para elit politik lupa akan subtansi persoalan yang sedang dialami oleh masyarakat akar rumput. Masyarakat mau berdarah-darah, masyarakat mau berlinang air mata, masyarakat mau makan nasi "Aking". Mereka tidak perduli, yang penting libido kekeuasaan para elit politik harus tesalurkan dengan baik dan benar. Problematika persoalan yang melanda masyarakat, berada pada daftar ke-sekian. Bahkan sering tidak masuk nominasi.

Secara harafiah, pada umumnya kursi dibuat oleh tukang kayu. Kursi yang baik dan berkualitas mencerminkan kompetensi si perajin. Akan berdampak positif pada meningkatnya daya beli konsumen. Berapapun harga komoditas tersebut, jika kualitas-nya nomor wahid, pasti akan diborong para komsumen sampai keakar-akarnya.

Kata orang-orang, kualitas mebel yang baik itu, seperti punya Pak Joko dari Solo. Akhir-akhir ini, kursinya Pak Joko paling dicari oleh kalangan elit politik di Republik ini. Kira-kira kualitas bahannya dari apa yah ? sampai banyak para elit politik  berlomba-lomba.  Apakah bahannya dari kayu Cendana ? bikin penasaran. Mengingat nama besar Cendana dalam dunia per-kayu-an tidak dapat kita ragukan lagi. Sepak terjang kayu cendana sudah mendunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun