Mohon tunggu...
Serafina Loveita
Serafina Loveita Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

Hi!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Millenials dan Musik sebagai Penyeimbang Kultur dan Popularitas

19 Maret 2021   15:46 Diperbarui: 19 Maret 2021   15:52 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo Sources: https://medium.com/

Semua orang di dunia ini pasti pernah mendengarkan musik. Dari zaman ke zaman, musik menjadi suatu bagian yang melekat pada kehidupan manusia. Bagi serangkaian orang, ada yang menganggap musik sebagai karya, dan sebagian lainnya hanya sebagai penikmat. Sebagai anak muda yang 'millenials', tentu saja kita semua menjadi penikmat musik nusantara. Tidak dipungkiri lagi, musik telah menjadi sebuah hobi bagi semua orang yang membuatnya maupun yang menikmatinya. Jika diterapkan lebih dalam lagi, musik menjadi salah satu aspek budaya popular dan subkultur. Kira-kira, apa sih yang membuktikannya?

Sebagai penikmat musik khususnya di Indonesia, kita semua tahu bahwa sebuah karya musikalitas pada zaman dahulu hanya dapat dinikmati lewat media radio, piringan hitam, dan tape recording. Lantas, seperti apa media yang sekarang banyak digunakan Millenials untuk menikmati musik? Spotify, JOOX, Soundcloud, Youtube Music, Deezer, dan media streaming lainnya. Platform-platform tersebut merupakan suatu kebudayaan populer yang terjadi, dan bahkan tidak kita sadari. Williams memberikan empat makna yakni: (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (Williams, 1983: 237). Media-media tersebut tidak hanya memberikan platform untuk menikmati musik saja, namun memberi ruang kemudahan untuk musisi dalam mempublikasi karyanya. Sungguh suatu perkembangan yang sangat pesat di era digital ini. Banyak sekali anak muda yang disebut dengan Millenials memanfaatkan platform musik tersebut dengan semaksimal mungkin. Pada hal ini, musik dapat membuktikan bahwa adanya masa transisi yang mencolok terhadap evolusi musikalitas di dunia. 

Photo Sources: https://www.herworld.co.id/
Photo Sources: https://www.herworld.co.id/
Selain budaya populer, dunia bermusik pasti juga memiliki subkultur yang telah tumbuh seiring dengan perkembangannya di era digital ini. Banyak sekali band-band lokal yang bermunculan dan naik daun selama 5 tahun terakhir. Selain itu, band-band lokal yang bermunculan ini mengadaptasi kebudayaan barat yang menjadi sebuah lirik lagu, genre, maupun 'style' mereka ketika di atas panggung. Sebagai contoh, band asal Bali yang bernama Astera, mengadaptasi style dari luar negeri yang disebut Androgyny, dimana seorang laki-laki berdandan sepert perempuan. Muncul banyak sekali pro dan kontra karena hal tersebut tidak sesuai dengan kebudayaan di Indonesia, dimana perempuan dan laki-laki harus berpakaian selayaknya jenis kelamin mereka. Dengan perkembangan gaya hidup yang seperti ini, maka muncul juga sebagian penikmat musik yang tidak menyetujui hal itu, dan menganggap bahwa musik yang sudah merupakan suatu budaya yang melekat, menyimpang karena budaya barat (sebagai salah satu dampak dari perkembangan digital dan globalisasi) dengan begitu mudah. Namun tidak dipungkiri, pro dan kontra adalah suatu cara bagi band-band lokal untuk melakukan branding musikalitasnya. 

Apabila dihubungkan dengan politik identitas, maka kedua fenomena ini merujuk pada pendekatan identitas konstruktivisme, yang memiliki definisi bahwa pendekatan tersebut membentuk identitas melalui hasil proses sosial yang kompleks. Identitas yang diperoleh band Astera, yang juga mempublikasi musik-musiknya melalui digital music platform, identitas yang diperoleh oleh mereka terbentuk dari pengalaman-pengalaman di sekitarnya. Suatu band pasti mengikuti komunitas-komunitas musik yang membentuk kebudayaan mereka, dan disitulah mereka tumbuh dan berkembang. Maka, tidak dipungkiri bahwa politik identitas ini muncul dari pendekatan konstruktivisme tersebut. Sebagai Millenials dan penikmat musik sehari-hari, ada baiknya apabila kita juga memilah dan selektif terhadap kebudayaan suatu kelompok pemusik yang kita ikuti. Namun, tidak ada salahnya juga apabila kita berlaku sebagai penggemar. Yuk, bersama-sama menjadi Music Millenials yang cerdas!

Daftar Pustaka

Sindonews. (2020). Evolusi Menikmati Lagu, dari Fonograf hingga Streaming. Diakses pada 13 Maret 2021 

Setiawan, P. (2021). Pengertian Subkultur dari Sosiologi. Diakses pada 19 Maret 2021

Williams, R. (1983). Keyword, London: Fotana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun