Di balik keseriusan kuliah teologi yang dipenuhi dengan diskusi Kristologi, eksposisi Kitab Suci, hingga etika pelayanan, terselip satu sisi kehidupan mahasiswa yang jarang dibahas: dunia lagu-lagu jenaka kampus. Lagu-lagu ini bukan bagian dari liturgi resmi, bukan pula materi kurikulum, tapi justru menjadi pengikat keakraban, cermin budaya, dan ruang tawa yang menyegarkan. Di antaranya, dua lagu yang paling legendaris adalah “Pica-Pica” dan “Stecu (Stelan Cuek)”.
Pica-Pica: Di Antara Sakit Hati dan Nasi Kosong
Lagu "Pica-Pica" lahir dari rahim kehidupan anak kos dan mahasiswa yang bergumul dengan realita. Entah siapa penciptanya pertama kali, mungkin seorang mahasiswa yang patah hati, atau mungkin juga hanya korban perut lapar. Lagu ini cepat menyebar dari satu kos ke kosan lainnya. Liriknya sederhana, penuh pengulangan, tapi kaya makna:
"Pica-pica, sa tra bisa...
Pica-pica, sa tra kuat...
Tuhan tolong beta…"
Nada minor, hati minor juga. Tapi jangan salah, justru karena kesederhanaannya, lagu ini menjadi simbol solidaritas mahasiswa yang sama-sama “berjuang dalam doa dan pica”. Diiringi petikan gitar atau kaleng biskuit, lagu ini menyatukan derita dan tawa.
Stecu: Stelan Cuek, Hati Serius
Berbeda dengan “Pica-Pica” yang lebih ke arah curhat, lagu Stecu: Stelan Cuek tampil sebagai satire sosial yang cerdas. Dengan gaya parodi, lagu ini menggambarkan penampilan khas mahasiswa : kaos longgar, celana kumuh, rambut gondrong, dan tentu saja... Gitar yang tetap melekat.
"Stelan cuek baru
Jalan lambat-lambat
Bukan karena sombong
Tapi sedang tafakur…"
Lagu ini menyindir dengan lembut bagaimana gaya sederhana bukan berarti miskin makna. Bahkan kadang, justru dari tampilan yang “cuek” itulah lahir pelayanan yang paling tulus. Mahasiswa teologi, lewat lagu ini, sedang menertawakan dirinya sendiri, dan itu sehat.
Di banyak kampus teologi, baik yang kecil di pelosok atau yang sudah mapan di kota besar, lagu-lagu seperti ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Mereka bukan hanya hiburan, tapi memori kolektif. Lagu-lagu ini dinyanyikan saat api unggun, malam keakraban, atau saat pikiran lelah oleh tugas-tugas hermeneutika.