Mohon tunggu...
Gina Silvia
Gina Silvia Mohon Tunggu... Human Resources - Mahasiswa

A Management Student who love learn about Human Resources Mangement and Education Issues

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pemeratan Pendidikan Inklusif bagi Para Penyandang Disabilitas

15 Mei 2022   21:28 Diperbarui: 15 Mei 2022   21:42 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kita sudah tidak asing lagi dengan isi pasal 31 Undang -- undang Dasar tahun 1945 dimana didalamnya  "Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tetapi pendidikan dasar merupakan kewajiban yang harus diikuti oleh setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayai kegiatan tersebut." Pemerintah sendiri mewajibkan kepada setiap warga negaranya wajib belajar 12 tahun. Hal ini berlaku untuk mereka kelompok penyandang disabilitas.

 Namun dalam kenyatannya, pemerataan Pendidikan bagi para penyandang disabilitas masih minim. Dibuktikan dari data Badan Pusat Statistik (BPS tahun 2020) menunjukkan bahwa 30,54% kelompok penyandang disabilitas tidak/belum pernah bersekolah. Ini yang membuktikan bahwa pemerataan Pendidikan bagi penyandang disabilitas yang masih rendah. Padahal dalam Undang -- undang No. 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas terdapat 11 asas hak bagi para penyandang disabilitas. 

Dua poin diantaranya mengenai kesataraan dan kesamaan kesempatan penyandang disabilitas terutama dalam memperoleh Pendidikan. Penyandang disabilitas juga berhak untuk memperoleh Pendidikan hingga 12 tahun seperti kelompok anak lainnya. Hanya saja pelaksanaan lapangan dalam mewujudkan hak disabilitas dalam undang -- undang tersebut, belum sesuai dengan ekspetasi. Lantas apa yang menyebabkan ketidakmerataan Pendidikan disabilitas di Indonesia sendiri ?

1.Kesulitan para penyandang disabilitas memperoleh Pendidikan inklusif


Sekolah  yang dikenal sebagai Sekolah Inklusif atau Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI) mewujudkan keterbukaan sekolah untuk mempromosikan keragaman belajar bagi siswa. SPPI berbeda dengan Pendidikan Luar Biasa (SLB) dan sekolah umum. Pemahaman yang terbuka tentang konsep lingkungan inklusif berarti bahwa semua orang yang tinggal, belajar dan bekerja di lingkungan keluarga, sekolah atau masyarakat dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dengan aman dan nyaman. Singkatnya, lingkungan inklusif adalah lingkungan sosial  yang terbuka, ramah, menghilangkan hambatan, dan menciptakan suasana yang nyaman. Hal ini karena semua anggota masyarakat saling menghormati dan memahami perbedaan satu sama lain.

Inklusi adalah bagian dari kehidupan masyarakat karena sebagai anggota masyarakat kita ingin hidup dalam lingkungan yang memberikan ketenangan pikiran dan kenyamanan, serta kesempatan untuk berkembang dengan cara yang terbaik sesuai dengan minat dan bakatnya. perubahan untuk belajar, dan memenuhi kewajiban dan mencapai hak kewarganegaraan. Namun, Pendidikan inklusi di Indonesia sendiri masih jauh dari kata ekspetasi. Menurut Gufroni Sakaril sebagai Ketua Umum Perkumpulan Penyandang Disabilitas  Indonesia, mengatakan hal yang menjadikan tantangan utama dalam perwujudan Pendidikan inklusi ialah tingkat partisipasi sekolah yang masih rendah. 

Hal tersebut mengakibatkan 25,83% dari jumlah penyandang disabilitas yang ada di Indonesia hanya menamatkan pendidikannya di Sekolah Dasar (SD). Sedangkan, penyandang disabilitas yang menamatkan pendidikannya hingga perguruan tinggi hanya sekitar 2,8%, angka ini sangat jauh lebih kecil dibanding dengan kelompok non disabilitas. Bahkan beberapa perguruan tinggi belum berperan aktif dalam melaksanakan pendidikan inklusi. Serta pemahaman dan sikap yang belum merata dikalangan masyarakat tentang pendidikan inklusif. 

Akibatnya, menjadikan kelompok disabilitas memiliki tingkat angka pengangguran yang tinggi karena tidak dapat memperoleh Pendidikan yang layak serta tidak dibekali kemampuan yang kolerasi dengan kebutuhan dunia kerja. Upaya untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDS Goal) pada tahun 2030 di bidang kualitas pendidikan yaitu menghilangkan disparitas gender dalam pendidikan dan memastikan akses yang sama ke semua tingkat pendidikan dan pelatihan kejuruan bagi mereka yang rentan, termasuk penyandang disabilitas, masyarakat adat dan anak-anak dalam situasi rentan. Maka, pemerintah memberikan perintah kepada setiap sekolah regular untuk menerapkan sistem Pendidikan inklusif, dimana kelompok penyandang disabilitas bisa mengeyam Pendidikan dengan mudah.

2.Keterbatasan Sarana, Prasarana, serta Tenaga Pengajar

Upaya pemerintah daerah dalam melaksanakan pendidikan inklusi belum maksimal. Sehingga Permasalahan sarana dan prasarana yang tidak memadai menjadi permasalahan yang cukup serius dalam sekolah inklusif. Praktik pembelajaran yang belum menggunakan media, sumber atau lingkungan yang berbeda tergantung dari kebutuhan anak. Dengan kemajuan teknologi, sekolah inklusif harus didukung oleh pemerintah untuk memberikan media pembelajaran  atau sebuah platform khusus untuk penyandang disabilitas. Dimana platform website itu menyediakan fasilitas pembelajaran menggunakan fitur voice to type, video pembelajaran dilengkapi dengan teks video, ataupun dilengkapi seorang Juru bahasa isyarat. 

Selain memerhatikan sarana dan prasana sekolah inklusif, meningkatkan jumlah serta kualitas pendidik sekolah inklusif harus menjadi pusat perhatian pemerintah. Untuk mengatasi keterbatasan tenaga pengajar sekolah inklusif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dapat mengadakan program untuk mahasiswa yang memiliki keinginan menjadi relawan tenaga pengajar di sekolah inklusif  disamping itu dengan pembimbingan dan pengarahan yang matang. Selain itu, Tenaga pengajar sekolah inklusif masih dipandang tidak peka dan tidak aktif terhadap kebutuhan khusus anak. Tenaga pengajar sekolah inklusif harus diberi bimbingan. Serta pemertaan sekolah inklusif yang masih belum merata di berbagai daerah Indonesia. Pemerintah juga harus siap untuk memberikan anggaran untuk mewujudkan sekolah inklusif di Indonesia.

3.Ketidakterbukaan pola pikir masyarakat terhadap para penyandang disabilitas

Tidak sedikit dari berbagai kelompok masyarakat yang beranggapan bahwa penyandang disabilitas bukan bagian dari mereka. Hal tersebut mengakibatkan banyak perilaku diskriminasi yang diterima oleh penyandang disabilitas. Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi dua tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2020, dimana ada kasus ini ada Tindakan perundungan siswi  SMP penyandang disabilitas oleh tiga siswa kelasnya di Purworejo, Jawa Tengah. Ketiga siswa tersebut melakukan perundungan dengan cara memukuli serta menendang siswi tersebut. Lebih ironinya, Tindakan mereka bertiga direkam oleh siswa lain dan tersebar di social media sehingga kasus ini terdengar oleh Gubernur Jawa Tengah, bapak Ganjar Pranowo. 

Ini membuktikan bahwa adanya ketidakramahan lingkungan sekolah bagi penyandang disabilitas. Padahal mereka berhak untuk mengeyam Pendidikan di sekolah yang sama dengan kelompok masyarakat lain. Bahkan ada beberapa orang tua yang memiliki anak penyandang disabilitas enggan untuk menyekolahkan anaknya akibat rasa malu mereka memiliki anak yang berbeda dengan yang lain. Lalu, apa upaya kita untuk terbuka terhadap penyandang disabilitas ? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun