Kerusuhan tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan merupakan akumulasi dari kekecewaan yang tidak tertampung, komunikasi yang gagal, serta simbol kekuasaan yang terasa merendahkan rakyat. Ketika aspirasi masyarakat tidak lagi mendapat ruang dalam kanal resmi, demonstrasi muncul sebagai bahasa rakyat. Namun, jika demonstrasi berubah menjadi kerusuhan, itu menandakan bahwa bahasa rasional sudah kehilangan bentuknya sebuah komunikasi yang benar-benar putus.
Melihat kerusuhan hanya sebagai tindak kriminal jelas terlalu sempit. Adalah gejala sosial yang menunjukkan adanya jarak besar antara rakyat dan elite. Kekecewaan, distorsi komunikasi, dan arogansi elite menjadi pemicu yang menyulut kemarahan kolektif.
Solusinya bukan dengan menekan rakyat secara represif, melainkan membangun komunikasi yang sehat dan kritis. Pemerintah harus lebih peka, aparat perlu mengedepankan pendekatan humanis, dan masyarakat sipil pun harus menyadari bahwa kemarahan sebaiknya ditransformasikan menjadi energi konstruktif, bukan anarki yang merugikan diri sendiri.
Pada akhirnya, kerusuhan adalah cermin betapa rapuhnya demokrasi kita ketika komunikasi gagal. Pertanyaannya, apakah bangsa ini mau belajar dari  bahasa yang putus  untuk memperbaiki komunikasi rakyat dan negara, ataukah kita akan terus membiarkan bara kemarahan itu menunggu saat untuk kembali menyala?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI