Mohon tunggu...
Sela Mardianti
Sela Mardianti Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Refleksi Kenaikan PBB di Pati: Antara Fiskal dan Sosial

25 September 2025   13:08 Diperbarui: 25 September 2025   13:08 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebagaimana diberitakan dari Tempo (2024) bahwa "Bupati Pati akhirnya membatalkan rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen setelah menuai penolakan masyarakat", maka jelas terlihat bahwa kebijakan fiskal tanpa komunikasi dan pertimbangan sosial yang matang akan sulit diterima oleh publik.

Pajak sejatinya adalah instrumen penting untuk membiayai pembangunan daerah. Pemerintah Kabupaten Pati tentu punya kebutuhan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, cara yang dipilih - yakni menaikkan PBB hingga ratusan persen dalam waktu singkat-justru menimbulkan keresahan. Wajar jika masyarakat mempertanyakan, apakah kebijakan ini benar-benar mempertimbangkan kemampuan warga membayar pajak?

Bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah, lonjakan PBB berarti beban tambahan di tengah kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Petani kecil, pedagang, hingga pensiunan bisa saja harus mengorbankan kebutuhan pokok demi membayar pajak. Sementara itu, manfaat dari kenaikan pajak belum tentu langsung mereka rasakan.

Beberapa poin yang jadi perhatian publik antara lain:

1. Lonjakan yang terlalu drastis  kenaikan sampai ratusan persen terasa too much, dan masyarakat practically nggak punya waktu buat adaptasi.

2. Minim sosialisasi - warga merasa left behind dalam proses perumusan. Padahal pajak ideally dibangun di atas transparansi dan komunikasi yang jelas.

3. Belum ada proteksi untuk kelompok rentan -- masyarakat dengan penghasilan rendah seharusnya dapat "special treatment", misalnya keringanan atau pembebasan.

Memang benar, sesuai UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, pemerintah daerah punya kewenangan lebih besar untuk mengelola pajaknya. But still, kewenangan itu sebaiknya nggak hanya dilihat dari sisi target penerimaan. At the end of the day, kebijakan fiskal yang tanpa legitimasi sosial justru bisa jadi boomerang, karena resistensi masyarakat bakal menurunkan kepatuhan pajak.

Kasus di Pati ini sebenarnya bisa jadi valuable lesson. Optimalisasi pajak penting, tapi harus balance dengan rasa keadilan. Pemerintah daerah tetap bisa meningkatkan PAD dengan cara:

1. Melakukan kenaikan bertahap (step by step),

2. Membuka ruang sosialisasi yang lebih transparan, dan

3. Memberi perlindungan bagi kelompok rentan.

Pada akhirnya, pajak itu bukan cuma soal angka di APBD. Pajak adalah semacam "social contract" antara pemerintah dan masyarakat. Kalau warga merasa diperlakukan adil, diajak ngobrol, dan bisa lihat real impact dari pajak yang dibayarkan, kepatuhan pajak otomatis akan tumbuh lebih kuat.

Pelajaran dari kasus Pati: pemerintah daerah perlu lebih peka membaca kondisi sosial masyarakat sebelum menetapkan kebijakan fiskal. Kenaikan pajak yang terlalu tinggi tanpa komunikasi justru menimbulkan resistensi. Sebaliknya, bila pemerintah mengedepankan dialog, keterbukaan, dan keberpihakan pada kelompok rentan, kebijakan fiskal akan lebih mudah diterima. Artinya, keberhasilan peningkatan PAD tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar angka kenaikan pajak, tetapi juga oleh seberapa besar rasa keadilan dan kepercayaan yang dibangun antara pemerintah dan masyarakat.

Singkatnya, good policy itu bukan sekadar tentang "how much money comes in", tapi juga tentang "how people feel about it". Kalau publik merasa didengar dan dilibatkan, maka trust tumbuh, kepatuhan meningkat, dan tujuan pembangunan daerah bisa tercapai bareng-bareng. That's the real win-win.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun