Mohon tunggu...
Anastasia Sekar Kirana
Anastasia Sekar Kirana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Hubungan Internasional

Selamat datang di laman saya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dibalik Perang Siber Amerika Serikat dan Tiongkok

25 Januari 2022   12:42 Diperbarui: 25 Januari 2022   12:45 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 

Introduction

            Nama Amerika Serikat dan Tiongkok semakin sering terdengar dan diperbincangkan oleh dunia. Kedua negara ini berlomba-lomba menunjukkan kekuatannya di berbagai sektor dengan menggunakan strateginya masing-masing. Alhasil, situasi panas antara AS dan Tiongkok diisukan akan menjadi “Cold War 2.0” atau perang dingin kedua. Tidak hanya persaingan di sektor ekonomi saja, AS dan Tiongkok akhir-akhir ini terlibat dalam perang siber, dengan saling menuduh satu sama lain telah mengancam keamanan siber masing-masing.

            Setelah berakhirnya perang dingin, isu keamanan sudah tidak lagi sebatas keamanan militer dan pertahanan negara saja, melainkan bergeser pada keamanan non-tradisional. Keamanan dunia siber saat ini mulai menjadi salah satu agenda keamanan negara. Mengapa demikian? Era globalisasi telah melahirkan teknologi informasi yang semakin canggih dan maju, membuat manusia tidak lepas dari dunia maya. Dunia maya memberikan ruang bagi siapapun untuk dapat berinteraksi meskipun berada di lokasi yang berbeda, selayaknya definisi dari globalisasi yaitu proses hilangnya batasan dunia. Aktivitas di dunia maya yang sangat massive kemudian menjadi celah bagi pelaku kejahatan dunia maya untuk menciptakan ancaman siber. Tidak hanya pelaku kejahatan siber saja, negara-negara pun melihat adanya peluang ancaman di dunia maya, terlebih lagi belum ada kerangka regulasi yang jelas terkait keamanan siber. Tidak hanya mengancam keamanan negara saja, ancaman di dunia maya juga dapat secara langsung mengancamn keamanan individu, contohnya kasus kebocoran data. Oleh karena itu, fenomena seperti perang siber bukan suatu isu yang dapat diremehkan oleh negara.

Discussion

            Tiongkok tak ingin kalah dengan tata kelola siber AS yang telah mendominasi selama bertahun-tahun ke belakang. Oleh karena itu, Tiongkok berniat untuk menghilangkan kesenjangan teknologi dan informasi dengan negara-negara barat, salah satunya melalui keinginan Tiongkok untuk menciptakan perusahaan swasta yang dapat setara dengan perusahaan teknologi dan telekomunikasi AS, seperti : Google, Microsoft, Intel, IBM, dan lain lain.  Upaya lain yang dilakukan Tiongkok adalah dengan mematangkan The Chinese Cyberwar dalam the National Security Law of 2015, serta the Intelligence Law of 2017, dimana kedua Undang-Undang ini memperbolehkan operasi siber untuk dilakukan oleh Kementerian Keamanan Nasional dan Kantor Keamanan Internal, Kementerian Keamanan Publik. Atas strategi dan upaya yang dilakukan Tiongkok,  Belfer Center for Science and International Affairs Harvard Kennedy School  menobatkan Tiongkok sebagai negara urutan kedua dalam “ National Cyber Power Index 2020”. Namun tentu saja, urutan tersebut masih membawa Tiongkok berada di bawah posisi AS.

            Berbeda dengan Tiongkok, sejak dahulu, AS telah dikenal sebagai negara tempat lahirnya perusahaan-perusahaan teknologi dan telekomunikasi, serta rumah bagi ilmuwan-ilmuwan yang bergerak di bidang teknologi dan infromasi. Fasilitas yang disediakan pemerintah AS serta hubungan antara pemerintah dengan perusahaan-perusahaan tersebut, membawa AS menjadi negara yang mendominasi tata kelola siber dunia. Namun, strategi keamanan siber AS juga sempat bergeser pada masa kepresidenan Barack Obama dan kepresidenan Donald Trump. Presiden Obama lebih berfokus pada strategi defensif, sedangkan di masa Presiden Trump, strategi siber AS lebih proaktif sehingga mengundang respon Tiongkok, ketegangan pun tidak dapat dihindari.

            Dalam beberapa tahun terakhir, baik AS maupun Tiongok telah diduga saling melalukan praktik spionase, salah satunya dalam kasus dugaan pencurian rancangan pesawat militer F-35 milik AS oleh Tiongkok. Dalam kasus spionase ini, Tiongkok telah dituduh mencuri rancangan pesawat militer milik AS yaitu seri F-35, dan kemudian Tiongkok membuat pesawat militer “duplikat” yang diberi nama Shenyang J-31. Selain dugaan praktik spionase, Tiongkok juga menerima tuduhan atas serangan siber “Aurora”  yang dimulai sejak pertengahan tahun 2009 hingga tahun 2010. Tujuan dari proyek “Aurora” ini adalah untuk menyerang perusahaan teknologi besar milik AS, salah satunya Google. Tiongkok semakin memanas mendengar tuduhan-tuduhan dari AS terkait serangan siber yang diterima. Akibatnya di tahun 2021, Juru Bicara Kementerian luar negeri Tiongkok, melayangkan tuduhan bahwa AS telah mencemari nama baik Tiongkok terutama dalam dunia siber dan telah melakukan serangan siber tidak mendasar.

Conclussion

            Kemajuan teknologi menjadi suatu perubahan yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu. Begitu pula dengan negara, negara harus semakin mempersiapkan strategi, regulasi, serta masyarakatnya untuk menghadapi tantangan di era globalisasi. Dunia Siber yang “tidak terlihat” menjadi ruang yang memudahkan pemerintah dan  masyarakat untuk berkomunikasi dan bertukar informasi. Namun sayangnya, ruang siber juga berpotensi menjadi arena perang bagi beberapa neagra yang menyadari bahwa ruang siber dapat menjadi “senjata” mereka.

Pasang surut hubungan antara AS dan Tiongkok telah terjalin selama beberapa tahun ke belakang, bahkan berpotensi menjadi Cold War 2.0. Tidak hanya terbatas pada ketegangan akibat perang dagang, dunia siber pun sekarang telah menjadi “Battlefield” baru bagi AS dan Tiongkok. Kedua negara super power ini sangat ingin menunjukkan hegemoninya di seluruh sektor, termasuk dalam sektor keamanan siber. Akibatnya, kedua negara ini seakan tanpa henti saling melontarkan tuduhan serangan siber, seperti cyberspying dan praktik spionase. Perang siber ini akan sulit untuk diakhiri apabila baik Tiongkok maupun AS masih berteguh pada ambisinya untuk mendominasi dunia. Tiongkok berambisi untuk menyaingi dominasi tata kelola siber serta kemajuan teknologi AS dan negara barat, sedangkan AS tidak ingin dominasi teknologi dan informasi yang mereka bangun selama berdekade harus diambil alih oleh Tiongkok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun