Mohon tunggu...
Sekar
Sekar Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis

Gravitation is not responsible for people falling in love

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Susanti Septia, Desainer Inspiratif dari Kota Tapis Berseri

20 Mei 2015   20:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:46 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam mata kuliah Sosiologi Pendidikan, kami dikenalkan dengan konsep decoding. Decoding adalah suatu proses penafsiran simbol-simbol komunikasi yang mengandung pesan. Maksudnya, seseorang saat menyampaikan pesan maka dia akan menggunakan simbol-simbol komunikasi, baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Dan objek yang menerima pesan tersebut akan menafsirkan simbol sehingga dapat memahami pesan yang ingin disampaikan.

Saya memulai postingan ini dengan konsep decoding karena ingin menggarisbawahi jika komunikasi berjalan dua arah. Ada pihak yang memberikan pesan dan ada yang menerima pesan tersebut. Tidak akan ada komunikasi yang bejalan satu arah.

Namun bagi mereka yang berkebutuhan khusus, misalnya saja tunarungu, komunikasi terkadang merupakan hal yang sulit. Tunarungu mengalami gangguan dalam pendengaran. Mereka tidak dapat berkomunikasi secara lisan. Karena itu mereka membutuhkan alat bantu dalam berkomunikasi. Alat bantu tersebut dapat berupa bahasa isyarat, media tulis, atau orang yang dapat menerjemahkan pesan kepada lawan bicara. Dan tidak banyak orang yang mengerti tentang bahasa isyarat.

Tentu tidak mudah bagi mereka yang berkebutuhan khusus, seperti tunarungu dalam menjalani kehidupan normal. Dan hal ini tentu juga pernah dirasakan Susanti Septia. Susanti adalah seorang tunarungu. Dia tidak dapat mendengar, sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan cara yang biasa. Untuk berkomunikasi harus menggunakan bahasa non verbal seperti isyarat atau verbal tulisan. Tentu ini bukan hal yang mudah. Tidak semua orang sabar dan mampu berkomunikasi dengan cara yang khusus ini.

Kesulitan ini sudah merupakan makanan sehari-hari bagi Susanti. Belum lagi, bisik-bisik di belakangnya yang mengomentari tentang keterbatasan fisiknya tersebut. Tapi ternyata, semangat ibu satu ini lebih besar dibandingkan apa yang disebut orang-orang sebagai hambatannya. Susanti kini menjadi seorang desainer yang cukup terkenal di Bandar Lampung.

Sebelum memantapkan diri sebagai desainer, Susanti belajar di Esmod Fashion Designer. Di sekolah mode tersebut, dia belajar selama tiga tahun. Tentu proses belajar di sekolah ini pun tidak mudah karena sekali lagi, dia memiliki kebutuhan khusus dalam berkomunikasi.

Meski tergolong baru, perempuan 28 tahun ini sedang merintis bisnisnya di dunia fashion. Ditengah keterbatasan fisiknya, Susanti terus mengembangkan butiknya. Tidak terasa sudah dua tahun dia mengeluti bidang ini. Secara perlahan namun pasti, namanya mulai dikenal masyarakat Bandar Lampung.

Berbagai karyanya, terutama busana pesta dan pernikahan kerap digunakan kalangan orang ternama dan pejabat di kota tapis berseri ini. Desain Susanti memang terkenal elegan. Karyanya juga kaya akan detail. Jadi jangan heran, jika gaun ini dibanderol dengan harga yang cukup mahal, antara Rp 3 – 30 juta. Gaun pesta bukanlah satu-satunya jenis pakaian yang didesain Susanti. Dia juga merancang busana untuk anak-anak, dan cape.

Tapi tentu tidak mudah untuk mencapai kesuksesan ini. Sekali lagi, Susanti memiliki keterbatasan fisik dalam berkomunikasi. Dan untungnya, sang kakak, Elsalianti selalu membantu. Elsalisanti sering membantu adiknya berkomunikasi dengan pelanggan. Biasanya saat memesan busana, pelanggan selalu memiliki detail tambahan sesuai keinginan mereka. Karena jarang sekali konsumen yang dapat berbahasa isyarat, Elsalianti membantu adiknya menerjemahkan pesan kepada pelanggan.

Elsalianti sendiri tidak bisa menyembunyikan kebanggaannya atas prestasi sang adik.  Di mata Elsalianti, Susanti merupakan sosok pekerja keras. Dia tidak menyerah dengan segala keterbatasan. Sebaliknya, Susanti justru menjadikannya sebagai pendorong. Kesulitan tersebut terasa sejak dulu, termasuk saat kuliah maupun memulai karir profesionalnya.

Sedikit demi sedikit, buah dari kerja kerasnya mulai terlihat. Sebuah butik merangkap workshop kini menjadi tempatnya bekerja. Dia juga berhasil memberikan lapangan pekerjaan. Di butik dan workshopnya tersebut, terdapat sedikitnya enam karyawan yang siap membantu. Adapun omset usahanya sendiri mencapai puluhan juta per bulannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun