Mohon tunggu...
Sekar
Sekar Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis

Gravitation is not responsible for people falling in love

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Susanti Septia, Desainer Inspiratif dari Kota Tapis Berseri

20 Mei 2015   16:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:47 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_418853" align="aligncenter" width="465" caption="Elsalisanti (kiri) dan Susanti Septia (kanan) cr. Andres Afandi"][/caption]

Dalam mata kuliah Sosiologi Pendidikan, kami dikenalkan dengan konsep decoding. Decoding adalah suatu proses penafsiran simbol-simbol komunikasi yang mengandung pesan. Maksudnya, seseorang saat menyampaikan pesan maka dia akan menggunakan simbol-simbol komunikasi, baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Dan objek yang menerima pesan tersebut akan menafsirkan simbol sehingga dapat memahami pesan yang ingin disampaikan.

Saya memulai postingan ini dengan konsep decoding karena ingin menggarisbawahi jika komunikasi berjalan dua arah. Ada pihak yang memberikan pesan dan ada yang menerima pesan tersebut. Tidak akan ada komunikasi yang bejalan satu arah.

Namun bagi mereka yang berkebutuhan khusus, misalnya saja tunarungu, komunikasi terkadang merupakan hal yang sulit. Tunarungu mengalami gangguan dalam pendengaran. Mereka tidak dapat berkomunikasi secara lisan. Karena itu mereka membutuhkan alat bantu dalam berkomunikasi. Alat bantu tersebut dapat berupa bahasa isyarat, media tulis, atau orang yang dapat menerjemahkan pesan kepada lawan bicara. Dan tidak banyak orang yang mengerti tentang bahasa isyarat.

Tentu tidak mudah bagi mereka yang berkebutuhan khusus, seperti tunarungu dalam menjalani kehidupan normal. Dan hal ini tentu juga pernah dirasakan Susanti Septia. Susanti adalah seorang tunarungu. Dia tidak dapat mendengar, sehingga tidak bisa berkomunikasi dengan cara yang biasa. Untuk berkomunikasi harus menggunakan bahasa non verbal seperti isyarat atau verbal tulisan. Tentu ini hal yang sulit. Tidak semua orang sabar dan mampu berkomunikasi dengan cara yang khusus ini.

Kesulitan ini sudah merupakan makanan sehari-hari bagi Susanti. Belum lagi, bisik-bisik di belakang yang mengomentari tentang keterbatasan fisiknya tersebut. Tapi ternyata, semangat ibu satu anak ini lebih besar dibandingkan apa yang disebut orang-orang sebagai hambatannya. Susanti kini menjadi seorang desainer yang cukup terkenal di Bandar Lampung.

[caption id="attachment_418854" align="aligncenter" width="377" caption="Susanti sedang mendesain busana cr: Andres Afandi"]

14321135011806629501
14321135011806629501
[/caption]

Sebelum memantapkan diri sebagai desainer, Susanti belajar di Esmod Jakarta. Di sekolah mode tersebut, dia belajar selama tiga tahun. Tentu proses belajar di sekolah ini pun tidak mudah karena sekali lagi, dia memiliki kebutuhan khusus dalam berkomunikasi.

Meski tergolong baru, perempuan 28 tahun ini sedang merintis bisnisnya di dunia fashion. Ditengah keterbatasan fisiknya, Susanti terus mengembangkan butiknya. Tidak terasa sudah dua tahun dia mengeluti bidang ini. Secara perlahan namun pasti, namanya mulai dikenal masyarakat Bandar Lampung.

Berbagai karyanya, terutama busana pesta dan pernikahan kerap digunakan kalangan orang ternama dan pejabat di kota tapis berseri ini. Desain Susanti memang terkenal elegan. Karyanya juga kaya akan detail. Jadi jangan heran, jika gaun ini dibanderol dengan harga yang cukup mahal, antara Rp 3 – 30 juta. Gaun pesta bukanlah satu-satunya jenis pakaian yang didesain Susanti. Dia juga merancang busana untuk anak-anak, dan cape.

[caption id="attachment_418857" align="aligncenter" width="568" caption="Busana hasil rancangan Susanti cr: Andres Afandi"]

1432113760631826167
1432113760631826167
[/caption]

[caption id="attachment_418855" align="aligncenter" width="569" caption="Elsa dan Susanti selalu membahas desain cr: Andres Afandi"]

14321136651333085683
14321136651333085683
[/caption]

Tapi tentu tidak mudah untuk mencapai kesuksesan ini. Sekali lagi, Susanti memiliki keterbatasan fisik dalam berkomunikasi. Dan untungnya, sang kakak, Elsalianti selalu membantu. Elsalisanti sering membantu adiknya berkomunikasi dengan pelanggan. Biasanya saat memesan busana, pelanggan selalu memiliki detail tambahan sesuai keinginan mereka. Karena jarang sekali konsumen yang dapat berbahasa isyarat, Elsalianti membantu adiknya menerjemahkan pesan kepada pelanggan.

Elsalianti sendiri tidak bisa menyembunyikan kebanggaannya atas prestasi sang adik. Di mata Elsalianti, Susanti merupakan sosok pekerja keras. Dia tidak menyerah dengan segala keterbatasan. Sebaliknya, Susanti justru menjadikannya sebagai pendorong. Kesulitan tersebut terasa sejak dulu, termasuk saat kuliah maupun memulai karir profesionalnya.

Sedikit demi sedikit, buah dari kerja kerasnya mulai terlihat. Sebuah butik merangkap workshop kini menjadi tempatnya bekerja. Dia juga berhasil memberikan lapangan pekerjaan. Di butik dan workshopnya tersebut, terdapat sedikitnya enam karyawan yang siap membantu. Adapun omset usahanya sendiri mencapai puluhan juta per bulannya.

[caption id="attachment_418858" align="aligncenter" width="560" caption="Susanti mengarahkan pekerjanya cr: Andres Afandi"]

1432113853617272784
1432113853617272784
[/caption]

[caption id="attachment_418859" align="aligncenter" width="566" caption="Susanti berhasil membuka lapangan pekerjaan cr: Andres Afandi"]

1432113923402647507
1432113923402647507
[/caption]

Di butiknya inilah, Susanti biasa bertemu dengan pelanggan. Bagi mereka yang ingin membeli langsung pakaian juga dilayani. Namun, untuk busana pesta, Susanti tidak melayani pembelian langsung. Dia baru melayani pemesanan saja. Sementara sejumlah pakaian hasil desainer Susanti dipajang di butik.

Dan sesuai perkembangan teknologi, Susanti juga menjual pakaianya melalui jejaring sosial, salah satunya instagram. Namun, untuk penjualan online, sekali lagi, Susanti baru melayani busana yang dapat diproduksi massal, seperti cape. Busana seperti gaun pesta atau pernikahan belum dijual secara online, karena dia ingin memastikan ukuran busana tersebut pas di tubuh sang pemakai.

Untuk pilihan motif, Susanti juga banyak menggunakan motif tradisional seperti tenun lombok atau bali. Dia menggunakan kain tersebut untuk menjadi bahan cape. Sehingga motif cape terkesan modern namun tetap bernuansa etnik. Hal ini tentu menjadi ciri khas garis rancangannya tersendiri.

Tidak mudah bagi Susanti untuk berdiri di tempatnya seperti ini. Dia dapat mematahkan stigma masyarakat bahwa orang berkebutuhan khusus juga dapat berkarya. Bahwa yang terpenting adalah adanya kesempatan yang sama dengan mereka yang tidak berkebutuhan khusus. Jangan sampai ada diskriminasi antara orang berkebutuhan khusus dengan tidak. Namun, sayangnya saat ini pintu kesempatan tersebut masih minim. Tidak banyak perusahaan yang menerima pekerja dari kelompok berkebutuhan khusus. Ah, tidak perlu muluk-muluk, fasilitas umum yang ramah bagi orang berkebutuhan khusus itu sendiri masih minim.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun