Tadi pagi, di Apa Kabar Indonesia TVone, saya mendengar dan melihat pemberitaan, Indonesia menjual rute penerbangan ke Malaysia. Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, memperlihatkan sebuah dokumen nota kesepahaman antara RI dengan Malaysia mengenai hal itu. Ironisnya, yang menandatangani dokumen tersebut dari Indonesia, adalah pejabat setingkat eselon II.
"Pada dokumen tersebut terlihat bahwa kita menjual wilayah udara kita kepada Malaysia. Pemerintah Indonesia memberikan 5th Right of Freedom ke Malaysia.
Dalam dokumen yang diperoleh, maskapai Malaysia berhak mengambil penumpang dari 3 bandara yang rutenya gemuk di Indonesia yaitu Soekarno-Hatta, Sultan Hasanuddin, dan Ngurah Rai, Denpasar. Sedangkan maskapai Indonesia, berhak mengambil penumpang dari 3 bandara di Malaysia yang rutenya kurus yakni, Kuala Lumpur, Kuching dan Kinabalu.
"Malaysia dapat rute gemuk, kita oleh Malaysia ditukar dengan rute kurus yang pasti tidak ada penumpangnya meski frekuensinya lebih banyak. Kalau benar, harga diri kita digadaikan oleh Kemenhub. Terbukti Terminal III jadi penerbangan Malaysia,” katanya.
Direktur Jenderal Kementerian Perhubungan Herry Bakti Singayudha Gumay yang kala itu dikonfirmasi TVone via telepon menjelaskan, Indonesia tetap diuntungkan dalam MoU tersebut. Hal itu pernah ditandatangani di level menteri lalu turun ke Dirjen. Tahun 2003 sudah diteken. Tapi ada pembicaraan untuk ditingkatkan tahun 2009 sampai 2011. Tapi yang 2011 belum ditandatangani. Sebelumnya pada 2010 pernah ada leader meeting antara Presiden SBY dan Perdana Menteri Malaysia. Hasilnya diperlukan peningkatan trafik antara Indonesia dan Malaysia.
Menurut hemat saya, bila ini bila benar, menjadi miris di tengah luka olahraga yang masih melekat dalam diri warga bangsa. Sebetulnya, persoalan ini tidak perlu mencuat apabila dilakukan kedua Negara secara adil dan fair play. Yang di khawatirkan, jual beli rute penerbangan ini, berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia, terutama pendapatan Garuda, yang notabene perusahaan milik pemerintah. Dan sedikit banyak, uang rakyat melekat di perusahaan plat merah tersebut.