Mohon tunggu...
Sebas
Sebas Mohon Tunggu... Lainnya - D

I,m humble person

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup Kok Berdasar Gengsi

27 Januari 2016   14:20 Diperbarui: 27 Januari 2016   14:52 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Wah semua harga naik ya bu." ujar Astuti kepada tetangganya

"Iya bu." jawab Dina dengan dengan kalem

"Bu Dina kok sepertinya tampak kalem saja. Apakah baru saja dapat kenaikan gaji bu?"

"Enggak. Ya ga gimana-mana bu. Semua orang kan mengalami hal yang sama. Jadi tinggal bagaimana kita menyikapinya."

"Maksudnya bu?"

"Karena semua orang mengalami hal yang sama. Mungkin jadikan itu sebagai pacuan buat kita bu agar lebih giat bekerja, agar mengurangi gengsi kita dan menyisihkan uang kita untuk membuka usaha sendiri. Tidak perlu lah beli baju bermerk jika baju lama masih bagus."

"Iya sih bu. Kadang kita gengsinya besar. Kalau tidak memakai merk branded merasa malu."

 

Saya memiliki beberapa teman yang gajinya cukup fantastis untuk ukuran anak muda. Mereka bekerja di perusahaan multi nasional atau perusahaan lain dengan gaji yang tinggi. Beberapa orang di antaranya bahkan ketika usia menginjak 20-an sudah memiliki rumah meski pembayarannya melalui KPR. Dari pengakuan beberapa teman ternyata semakin besar gaji mereka maka biaya kebutuhan mereka juga semakin naik. Dari yang dulunya pas mahasiswa cukur rambut dengan uang 6000 perak lalu sekarang cukur ke salon di kawasan mall dengan harga puluh ribuan. Dari dulunya yang sering memakai kaos oblong seharga 20000 kemudian ganti kaos branded harga ratusan ribu rupiah. Kebetulan sebagian dari mereka belum menikah dan belum merasakan punya anak kecil. Mungkin nanti ketika sudah memiliki anak kecil prioritas kebutuhannya akan beda. Ada juga teman saya yang dulunya sering bolak balik ganti kaos distro dan cukup gaul dengan fashion ternyata setelah memiliki anak kecil tiba-tiba gaya hidupnya berubah 180 derajat. Sekarang sebagian besar gajinya malah untuk anaknya mulai dari beli susu sampai beli baju anak. Sekali lagi ternyata manusia akan selalu beradaptasi dengan kondisi yang ada.

Melihat ilustrasi cerita di atas, jika ada beberapa harga kebutuhan pokok naik atau bahkan jika gaji seseorang berkurang maka seseorang akan melakukan penyesuaian alokasi gaji. Yang dulunya mungkin 10 persen untuk foya foya mungkin akan dikurangi menjadi 2 persen atau malah hilang sama sekali. Seseorang senior tempat saya bekerja pernah berbagi cerita bahwa dulunya dia pernah KPR rumah dan ternyata setelah beberapa tahun akhirnya rumah tersebut lunas. Setelah lunas, pos anggaran yang biasanya untuk membayar uang KPR ternyata malah beralih ke kebutuhan lain yang mungkin termasuk kemutuhan tersier. Setelah setahun lunas membeli rumah ternyata uangnya di tabungan pun tidak bertambah. Sekali lagi ternyata gaya hidup lah yang telah membuatnya menjadi demikian. Sekarang beliau malah berusaha untuk membeli rumah lagi untuk investasi dengan tujuan agar pos anggaran keluarganya lebih terkontrol kembali.

Maka teringatlah saya akan pesan dari orang tua saya. Urip iku sak madya yang artinya hidup itu sewajarnya saja. Beberapa orang menyebutkan bahwa bahagia itu sederhana. Hidup sewajarnya dan jangan hidup berdasar gengsi. Jauhi iri dan dengki hati serta kesombongan diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun