Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Salah Penanganan Papua akan Memperkuat Separatisme

11 September 2019   16:03 Diperbarui: 11 September 2019   16:18 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila Pemerintah keliru menangani Papua,  justru akan memperkuat gerakan separatisme yang dapat berujung terlepasnya Papua dari NKRI. 

Gejolak Papua yang sempat panas dan liar sejak pertengahan Agustus lalu, secara fisik mulai mereda meskipun secara psikis sesungguhnya masih menyala. Peristiwa pertengahan Agustus lalu, ketika mahasiswa dari Papua merasa dipersekusi rasial di Surabaya, Malang, dan Semarang, memicu pecahnya demonstrasi dan kerusuahan di Manokwari, Papua Bara tanggal 19 Agustus 2019. Beberapa hari kemudian, demonstrasi menyusul di kota Jayapura, Sorong, Timika, Fakfak, Merauke, Nabire, Yaukimo, Biak dan Kabupaten Deiyai.  

Khabar terkini, Jokowi berjanji 1.000 sarjana asal Papua akan diterima bekerja di BUMN maupun perusahaan swasta dan memutuskan tahun depan, Istana Presiden akan dibangun di Papua. Kebijakan yang disampaikan saat tokoh Papua diterima oleh Presiden Jokowi di Istana, Selasa (10/9/2019),  menggambarkan hiasan populer Pemerintah menangani Papua.

Mengamati cara-cara Pemerintah mengatasi persoalan Papua seperti tersebut di atas, tidak menunjukkan arah mengatasi akar persoalan sesungguhnya. Bahkan, cara-cara tersebut justru memperkuat sentimen kebencian Rakyat Papua kepada NKRI. Sebelumnya, Pemerintah menangani kerusuhan Papua secara reaksioner tanpa kajian mendalam, yang justru merugikan Pemerintah sebagimana ulasan berikut ini.

Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup akses internet di wilayah seluruh Papua sejak Rabu 21 Agustus 2019. Tujuan Pemerintah memblokir internet untuk mencegah meluasnya demonstrasi dan kerusuhan, terbukti tidak efektif, karena pada tanggal 29 Agustus terjadi kerusuhan besar di Jayapura yang menewaskan beberapa warga sipil. Kebijakan ini hanya menyulitkan akses komunikasi penduduk Papua, dan  masyarakat luar Papua untuk memperoleh fakta peristiwa. Kebijakan pemblokiran ini tidak memberi manfaat,  melainkan kerugian, menuai kebencian kepada Pemerintah.

Sabtu 31 Agustus, Surya Anta Ginting, juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk Papua Barat atau FRI-West Papua diitangkap beserta tujuh orang lainnya ditempat berbeda. Semua dituduh makar,  terkait pengibaran bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara Jakarta Rabu 28 Agustus 2019. Kemudian, 4 September 2019, Polda Jawa Timur menetapkan aktivis Veronica Koman sebagai tersangka penyebar berita bohong terkait kasus demo di asrama mahasiswa Papua.  

Sejauh mana aktivis tersebut dapat dibuktikan makar dan  penyebar kebohongan, tentunya pradilan nanti memeriksanya. Tetapi publik mengetahui dan menilai sendiri kepantasan aktivis tersebut dituduh makar atau penyebar kebohongan. Tindakan kepolisian yang berlebihan dapat merugikan Pemerintah, semakin memperkuat sentimen kebencian penduduk Papua dan pendukung HAM kepada Pemerintah.

Pemerintah menambah jumlah pasukan TNI/POLRI, Kapolri mengatakan, "Papua sudah relatif aman. Pasukan dari Polri maupun TNI yang sudah turun ke Papua dan Papua Barat itu lebih hampir 6.000 itu ada di Jayapura, Manokwari, Sorong, kemudian di Paniai, Deiyai, Nabire, Fakfak. Kita standby-kan juga pesawat dari Polri maupun TNI termasuk heli kalau seandainya diperlukan," ujar Tito di Polda Metro Jaya, Minggu (1/9/2019). (Tribunnews.com).

Tentu saja TNI/POLRI memiliki perhitungan sendiri berapa kekuatan personil yang dibutuhkan di Papua. Tetapi penambaan pasukan memberi kesan bahwa Pemerintah mengutamakan penindakan refresif  tidak dapat dihindari. Peningkatkan jumlah pasukan disetiap front kerusuhan beresiko memperbesar peluang terjadinya benturan dengan warga sipil sehingga berpotensi dituduh pelanggaran HAM.  Bagi gerakan separatis, pelanggaran HAM digunakan sebagai amunisi menghantam Pemerintah di forum diplomasi internasional.

Pada 5 September 2019, Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut tokoh separatis, Benny Wenda sebagai dalang kerusuhan di Papua. Dia dituding memanfaatkan kerusuhan Papua untuk diangkat sebagai isu pada rapat komisi tinggi hak asasi manusia PBB. 

Selanjutnya, 9 september 2019, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto meminta kepada Benny Wenda cs untuk menghentikan segala aktivitas dalam memprovokasi masyarakat Papua.  Pemerintah berkesimpulan, kerusuhan di Papua diorganisir kelompok Benny Wenda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun