Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mbahku yang Muhammadiyah dan Pamanku yang NU

5 Maret 2020   11:23 Diperbarui: 5 Maret 2020   11:21 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diambil dari portal http://images.jurnas.com/ 

Entah kenapa, kakak dan adiku tidak mendapatkan pengalaman ini. Mungkin karena sejak kecil aku dinilai menunjukkan minat yang antusias dengan keilmuan agama. Akupun mengingat dengan baik, bahwa sejak kecil aku selalu antusias menyimak diskusi paman dengan sesama ustadz atau santri tentang agama di ruang tamu. Kebiasaanku selalu sama, yakni sengaja menggelar tikar di ruang tamu, berpura-pura tidur sambil mendengarkan dengan seksama.

Beberapa kali, paman juga berdiskusi hingga berdebat soal pemahaman agama dengan anak Mbah Surip, dari soal perbedaan penentuan 1 Syawal, qunut, tahlil, dan lainnya. Aku menikmati proses ini, yang kelak cukup membentuk bangunan pikiranku soal beragama, sampai kini.

Benar saja, pengalaman ini sangat berguna ketika aku pindah dari Tegal ke Bogor, sebuah kota yang cukup kosmopolit tentunya. Aku hijrah saat usia kelas enam SD, menempuh pendidikan bersama Ayah angkat. 

Pergulatan pemahaman agama pun kembali berlangsung, bahkan dalam skala yang lebih luas. Karena yang kuhadapi tidak lagi hanya NU dan Muhammadiyah, di luaran sana ada Salafi, Tarbiyah, sampai paham dan geraka yang  cukup ekstrem seperti Negara Islam Indonesia (NII) yang sempat bertumbuh diam-diam di Kota Bogor.

Beruntung, Ayah angkatku adalah tipikal Muslim modern yang mencoba lepas dari kotak-kotak identitas organisasi Islam. Dia justru sering mendidik kami untuk menjadi integrator, terutama di tengah 'pergulatan panjang' NU dan Muhammadiyah. 

Suatu watu, di pengajian pagi yang rutin digelar di pondok kami setiap Ahad, salah satu saudara angkat kami menyampaikan satu pertanyaan dengan nada yang berapi-api soal qunut subuh. Menurut dia, kalau dalilnya tidak kuat, kenapa qunut shubuh masih dipakai.

"Ayah senang kalian bertanya, kalian kritis. Tetapi tolong ingat anak-anakku, Ayah paling tidak suka kalau kalian meributkan hal-hal yang khilafiyah, yang sudah basi. Silahkan pegang dan amalkan apa yang menjadi keyakinan kalian, tapi jangan jelek-jelekkan yang tidak sepaham. Ayah ingin kalian menjadi integrator,pemersatu di tengah perbedaan yang ada," begitu Ayah kami menjawab pertanyaan.

Misi menjadi perekat umat inilah yang terus menyesaki pikiranku sejak SMP. Sampai-sampai aku pernah membayangkan kelak dewasa memegang pucuk pimpinan NU atau Muhammadiyah, lantas menyatukan keduanya. Mungkin hanya impian di siang bolong, tetapi yang pasti berangkat dari kegelisahan yang riil.

Sejak SMP pula, aku yang secara genealogis lahir dari rahim NU, tidak jarang shalat Jumat di masjid Muhammadiyah. Selain karena alasan lebih nyaman, karena khutbahnya pasti berbahasa Indonesia, juga terdorong keinginan mendapatkan pengalaman yang berbeda. 

Semasa kuliah, aku memilih organisasi HMI, yang di dalamnya ada anak-anak NU dan ada pula anak-anak Muhammadiyah. Skripsiku pun mengambil tema pemikiran Nurcholish Madjid (Cak Nun), intelektual Muslim yang pengalaman hidupnya juga tak lepas dari pergulatan Islam tradisional dan modern.

Mentas kuliah, aku sempat sedikit banyak ikut nguri-uri IPNU di kampung. Tetapi masih saja, di beberapa Jumat, aku masih sering pergi ke masjid Muhammadiyah. Sempat ikut menginisiasi pendirian Lembaga Nalar Terapan (LeNTera) Tegal, pun di dalamnya berisi intelektual muda NU dan Muhammadiyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun