Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghindar (dari) Tahu

21 Maret 2018   22:51 Diperbarui: 21 Maret 2018   22:57 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

SAAT anak balita berlarian di dalam atau di pelataran rumah, memanjat kursi atau yang lainnya, orang-orang dewasa di sekitarnyalah yang panik, teriak-teriak, mengingatkan ini, melarang itu dan sejenisnya. Kata-kata jangan, awas, nggak boleh, pelan-pelan dan ekspresi kecemasan lainnya pun sering diucapkan dengan intonasi tinggi. Apakah si buah hati mau mendengarkan? Mungkin sebagian besar tidak, mereka bergeming dan asyik dengan mobilitasnya yang sangat aktif.

Ya, mereka seolah tanpa beban. Kadang berlari dengan kecepatan yang menurut ukuran orang dewasa berbahaya, atau naik kursi dengan santai meski ibunya melihat sambil merem melek. Anak-anak tak peduli meski ada lubang atau kulit pisang, ada tumpahan air atau benda lain yang bisa membuatnya jatuh. Orang dewasalah yang mengkhawatirkannya.

Kenapa mereka bisa berlarian dengan enjoynya sementara orang dewasa justru ketakutan dengan aksi bebas si balita? Jawabannya mungkin kembali pada persoalan mengalami atau pengalaman. Atau secara umum bisa disimpulkan sebagai tahu dan tidak tahu. Faktanya, si balita berlarian atau memanjat ke sana kemari tanpa beban karena tak mafhum resiko, di samping bahwa daya keinginantahuannya yang super tinggi.

Mereka belum tahu resiko karena mungkin belum mengalami. Bahwa berlari terlalu kencang bisa mengurangi keseimbangan tubuh, bahwa ada kulit pisang, air,  yang bisa membuatnya terpeleset, ada batu, lubang yang bisa mencelakakannya. Dengan kata lain, anak-anak belum tahu atau belum bisa mengenali lingkungannya dengan baik. Mungkin itulah kesadaran.

Kalau nothing to loose nya anak-anak bermain karena tidak tahu, artinya 'tahu' itu menuntut konsekuensi. Memilih tahu juga berarti memilih resiko. Pengetahuan yang dimiliki setiap manusia pun dengan demikian pastilah berkonsekuensi. Karena alasan konsekuensi pula, tidak sedikit orang dewasa yang memilih tidak tahu atau menghindar dari tahu. Saat kita mengeluh dada sering nyeri, lantas saudara atau teman menganjurkan ke dokter agar sakitnya terdiagnosa, kita justru kadang takut sendiri dan memilih tak check up ke dokter.

Pada kasus tersebut, kita sebetulnya sedang takut atas resiko, takut dengan konsekuensi setelah tahu hasil diagnose dokter. Saat itulah kita sedang menghindar dari tahu. Jadi, menjadi tahu juga kadang membebani. Semisal saya, Anda atau kita diceritakan sebuah rahasia besar yang menyangkut hajat banyak orang. "Tolong, jangan ceritakan ke siapapun. Rahasia ini kupercayakan sama kamu"

Ya, pengetahuan ternyata bisa menjadi beban jika manusia tak siap memikul resikonya. Dalam hukum pidana, tahunya kita terhadap sebuah tindakan kriminal juga berkonsekuensi bukan? Paling tidak, polisi akan meminta keterangan kita sebagai saksi. Tidak sedikit yang pura-pura tidak tahu hanya karena tak mau menanggung resikonya.

Perspektif agama lebih-lebih lagi. Persoalan tahu, paham, atau kesadaran bahkan menjadi batas di mana seorang sudah bisa dikenakan hukum syariat. Maka dikenal istilah aqil baligh, yakni orang yang akalnya telah sampai (tahu beda benar dan salah, baik dan buruk), sehingga kepada mereka dibebani hukum syariat (mukallaf). Karena sudah tahu, kepadanya ada konsekuensi ketika berbuat kebaikan atau keburukan.  Karena itu pula, orang gila tak dibebani hukum, pun orang mabuk dilarang shalat.

Ihwal tahu; tahu ilmu, tahu kebenaran, pun dibebankan keharusan menyampaikan. "Sampaikan dariku walau hanya satu ayat," kata Nabi Saw. Atau wasiat Rasulullah kepada Abu Dzar;  "Katakanlah yang benar meski itu pahit".  Konsekuensi atas tahu juga bisa bermakna amal atau melaksanakan ilmu yang diketahuinya.

Tuhan bahkan sangat membenci orang-orang yang inkonsekuen, tak selarasnya kata dan perbuatan, ilmu dengan amal.  Mereka yang tahu tetapi tidak mengamalkan pengetahuannya.

"Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" (QS. As Shaff: 2-3).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun