Mohon tunggu...
Sava Kilandra
Sava Kilandra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa UNAIR

Selanjutnya

Tutup

Financial

Pemangkasan TKD 2026: Tekanan bagi Daerah, Tantangan Kesejahteraan

23 September 2025   23:13 Diperbarui: 24 September 2025   00:53 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
POSTUR RAPBN 2026 (Sumber : Nota Keuangan RI)

Pemerintah pusat berencana memangkas alokasi transfer ke daerah (TKD) dalam RAPBN 2026. Anggaran TKD yang ditetapkan sebesar Rp650 triliun itu lebih rendah 24,7 persen dibandingkan proyeksi tahun 2025 yang mencapai Rp864,1 triliun. Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai keputusan ini justru akan menambah beban fiskal pemerintah daerah.

Guru Besar Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, Prof. Wahyudi Kumorotomo, menilai pemangkasan tersebut terasa janggal dan menimbulkan risiko serius bagi pembangunan di daerah. Ia menyoroti bahwa meskipun target belanja RAPBN meningkat 17,7 persen, TKD justru dipangkas 24,7 persen atau sekitar Rp269 triliun. Sebagai perbandingan, alokasi untuk program MBG justru melonjak lima kali lipat menjadi Rp335 triliun, sedangkan dana transfer yang mendukung penciptaan lapangan kerja dan pembangunan daerah dikurangi cukup drastis.

Prof. Wahyudi menekankan bahwa berkurangnya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) akan berdampak serius terhadap kelanjutan pembangunan daerah. Pembangunan jalan, jembatan, maupun fasilitas telekomunikasi yang sudah berjalan berpotensi terhenti. Ia juga menegaskan bahwa program penanggulangan kemiskinan terancam terganggu karena minimnya dukungan dana transfer.

Dalam jangka pendek, kebijakan ini juga berpotensi memicu ketegangan politik, ekonomi, dan sosial. Untuk menutup defisit, sejumlah daerah kemungkinan akan menaikkan pajak, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). "Daerah yang berencana menaikkan pajak dalam jumlah besar, seperti Banyuwangi, Cirebon, Semarang, Jeneponto, dan Bone, bisa menghadapi perlawanan masyarakat. Jika kondisi ekonomi belum pulih, ditambah gaya komunikasi kepala daerah yang arogan, situasinya bisa meledak menjadi konflik sosial," ujar Prof. Wahyudi. Karena itu, ia menilai pemerintah pusat harus berhati-hati dalam merancang kebijakan fiskal agar tidak menimbulkan instabilitas di daerah.

Di sisi lain, langkah pemangkasan TKD menunjukkan adanya perubahan arah kebijakan fiskal. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa sebagian besar anggaran TKD dialihkan ke belanja Kementerian/Lembaga (K/L), dengan tujuan agar manfaatnya bisa langsung dirasakan masyarakat melalui layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Namun, pergeseran ini menyisakan risiko berkurangnya kemandirian fiskal di daerah.

Menanggapi situasi ini, KPPOD menilai pemerintah semestinya tidak hanya memangkas, tetapi juga mendorong reformasi fiskal di tingkat lokal. Daerah perlu lebih kreatif dalam menggali potensi pendapatan, misalnya melalui optimalisasi pajak kendaraan bermotor dan retribusi, disertai peningkatan kualitas pelayanan publik untuk menarik investasi.

Meski pemerintah beralasan pemangkasan dilakukan demi memperkuat belanja K/L dan mempercepat program prioritas nasional, kebijakan ini tetap membawa risiko besar. Ketimpangan pembangunan antarwilayah bisa semakin lebar, sementara kemandirian fiskal daerah melemah. Jika tidak diimbangi dengan reformasi pajak yang adil dan penguatan PAD, pemangkasan TKD justru dapat memperlambat pembangunan di banyak daerah.

Daerah dengan PAD besar seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, atau Jawa Timur mungkin masih bisa bertahan. Tetapi, wilayah dengan basis ekonomi lemah terutama di kawasan timur Indonesia akan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar warganya. Tanpa dukungan fiskal yang cukup, sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur rawan terhenti, sehingga memperparah kesenjangan antarwilayah.

Pemangkasan TKD ini jelas bukan perkara kecil. Tanpa strategi untuk memperkuat keuangan daerah, kebijakan itu bisa jadi malah menimbulkan masalah baru. Daerah yang sudah punya basis ekonomi kuat mungkin masih bisa jalan, tapi banyak daerah lain justru berisiko makin tertinggal. Kalau sampai pelayanan dasar ini terhambat, kesenjangan antarwilayah akan makin lebar. Karena itu, pemerintah pusat perlu memastikan kebijakan efisiensi ini dibarengi dengan langkah konkret untuk memperkuat kemandirian fiskal daerah, sehingga penghematan dari pusat tidak berubah menjadi beban bagi masyarakat di daerah.

Karena itu, pemangkasan TKD sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai urusan angka di atas kertas, tapi juga sebagai keputusan yang menyentuh langsung kehidupan warga di daerah. Bagi masyarakat, anggaran ini berarti jalan yang bisa dilalui, sekolah yang tetap berjalan, puskesmas yang tidak kekurangan tenaga dan obat, hingga peluang kerja yang bisa menopang keluarga mereka. Pemerintah pusat perlu memastikan kebijakan efisiensi tidak memutus harapan itu. Dukungan tambahan untuk daerah yang lemah, serta insentif bagi daerah yang mampu mandiri, menjadi kunci agar langkah penghematan tidak justru membuat warga di banyak wilayah merasa ditinggalkan.

REFERENSI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun