Beberapa hari terakhir, saya ikut membaca dan memperhatikan berita tentang selebgram lelaki feminin di Aceh yang viral di media sosial. Setelah berita itu muncul, komentar publik langsung membludak. Ada yang mendukung, ada yang menolak keras, dan ada juga yang bersikap biasa saja. Menurut saya, fenomena ini menarik karena tidak hanya menyangkut soal penampilan, tetapi juga bagaimana masyarakat menilai sesuatu serta bagaimana opini publik terbentuk.
Sebagian orang bersikap pro dengan alasan bahwa fenomena ini adalah bentuk kebebasan berekspresi. Media sosial memang menjadi ruang bagi siapa saja untuk menunjukkan jati dirinya. Apalagi, dari sisi ekonomi, aktivitas sebagai selebgram bisa menjadi sumber penghasilan yang cukup besar. Wajar jika ada kelompok yang melihatnya sebagai pekerjaan kreatif, bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan.
Namun, di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata bahwa Aceh memiliki aturan dan budaya yang kuat. Bagi sebagian orang, penampilan feminin pada lelaki dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Mereka khawatir jika hal ini dibiarkan, dapat memberi pengaruh buruk bagi generasi muda. Tidak heran jika kelompok ini cukup keras menyuarakan penolakannya.
Ada juga kelompok yang memilih bersikap netral. Mereka tidak terlalu peduli dengan gaya penampilan, tetapi lebih tertarik pada aspek ekonomi kreatifnya. Menurut mereka, selama penghasilan diperoleh dengan cara yang halal, fenomena ini tetap bisa dimanfaatkan secara positif.
Jika dikaitkan dengan teori opini publik, saya teringat pada spiral of silence. Banyak orang yang mungkin sebenarnya mendukung kebebasan berekspresi, tetapi memilih diam karena khawatir melawan arus opini mayoritas. Apalagi, pemberitaan media sering menyoroti sisi "keharaman" fenomena ini, sehingga opini kontra lebih dominan. Hal ini mirip dengan agenda setting, di mana media memiliki pengaruh besar dalam menentukan isu mana yang dianggap penting oleh masyarakat.
Menurut saya pribadi, persoalan ini tidak seharusnya dilihat secara hitam putih. Kita memang perlu menjaga nilai agama dan budaya di Aceh, tetapi kita juga tidak bisa menolak perkembangan era digital yang semakin maju. Bagi saya, dialog lebih penting daripada sekadar saling menyalahkan. Jika ada yang dianggap keliru, lebih baik dibimbing dan diarahkan, bukan langsung dicap buruk.
Kesimpulannya, fenomena selebgram lelaki feminin di Aceh menunjukkan bahwa opini publik sangat beragam dan dinamis. Ada kelompok pro, kontra, maupun netral, masing-masing dengan alasan yang berbeda. Sebagai mahasiswa, saya merasa penting untuk belajar bersikap bijak: menghormati aturan yang ada, tetapi juga membuka diri terhadap perbedaan, agar kita bisa hidup berdampingan tanpa menimbulkan konflik baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI