Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

InvestNotes #1: Pasar Modal 2020 vs 2025 - Menakar Deja Vu Pesimisme Investor

17 April 2025   07:20 Diperbarui: 17 April 2025   07:20 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trading Halt IHSG pada 8 April 2025 | Sumber Gambar: liputan6.com

Ketika penulis pertama memulai karir di dunia investasi pada awal tahun 2020 sebagai investor ritel, perjalanan itu dibuka dengan kesan yang kurang menyenangkan, setidaknya di beberapa bulan pertama. Masuk bulan ketiga yang bertepatan dengan awal pandemi COVID-19 melanda Indonesia (Maret 2020), IHSG terkoreksi 26,78% dibanding posisi awal tahunnya. Nasib portofolio amatir penulis tidak lebih mujur, dengan koreksi lebih dalam sebesar 28,26%.

Memandangi portofolio yang susut seperempat dalam tiga bulan pertama, penulis kala itu mengira bahwa mungkin ada sesuatu yang luput dari perhatian penulis kala membeli sejumlah saham dalam portofolio tersebut. Mungkin para pelaku pasar lainnya mengetahui sesuatu yang gagal penulis ketahui. Mungkin bermulanya pandemi juga memberi petunjuk yang cukup jelas tentang masa depan emiten-emiten ini. Dan dengan pengetahuan tersebut, harga saham kemudian disesuaikan oleh mereka.

Memang dengan minimnya jam terbang kala itu, ditambah dengan pesimisme pasar yang penulis kira cukup mendasar, kesimpulan semacam ini sempat penulis amini sebagai penjelasan terbaik atas ketidakmujuran yang terjadi. Dunia kala itu seperti akan berakhir. Kapitalisme nampaknya akan runtuh dengan matinya mobilitas sosial dan pembatasan kegiatan ekonomi, dan masing-masing dari kita kembali ke insting primitif untuk bertahan hidup bagaimanapun caranya.

Seiring dengan bertumbangannya orang-orang di sekitar kita akibat ganasnya pandemi, para komentator dan pengamat dari berbagai disiplin ilmu berbondong-bondong membuat prediksi menyeramkan mengenai dunia masa depan yang terdengar lebih seperti distopia hari ini, namun kala itu dianggap wajar dan memungkinkan. Imajinasi bahwa virus akan bermutasi lebih gesit dibanding proses pembentukan imun manusia menghasilkan ragam prediksi masa depan mulai dari dunia di mana kita hidup dalam teror mikrobiologis hingga tirani ekonomi berbasis biokteknologi.

Mujurnya kita hari ini, dunia tidak bergulir sebagaimana imajinasi menakutkan itu. Pandemi adalah bab yang telah berlalu yang meninggalkan beberapa penyesuaian pola hidup ke arah yang lebih baik tanpa membuat kita menghidupi distopia. Seiring dengan itu, bursa saham di berbagai belahan dunia hingga penghujung 2024 mencatat level tertinggi sepanjang sejarahnya. Di Indonesia sendiri, IHSG sempat menyentuh level tertingginya di Rp.7.905 pada September 2024.

Kala itu, ekspektasi kita terhadap dunia dan masa depan berbalik 180 derajat. Bursa nampaknya akan melanjutkan momentum positif ini untuk waktu yang lama dan kita akan sama-sama menjadi kaya raya. 

Sayangnya, sebagaimana satu sisi sebuah roda yang tergulir, kita mengalami pasang surut nasib secepat putaran roda. All-time high pada September 2024 disusul dengan koreksi dalam hingga IHSG sempat menyentuh level di bawah Rp.6.000 pada awal April 2025 ini. 

Berkaca pada situasi ini, sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya, sebagaimana penulis kala 2020 lalu, apakah ada hal yang luput dari pemahaman kita mengenai koreksi IHSG kali ini? Apakah ada katalis tersembunyi sebagaimana pandemi lalu yang memberikan justifikasi terhadap berbaliknya nasib IHSG? Mungkin tatanan dunia akan berubah akibat kebijakan tarif Trump di Amerika Serikat? Mungkin Indonesia akan mengalami kemunduran ke zaman Orde Baru akibat menguatnya peran angkatan bersenjata (polisi dan TNI) dalam domain sipil? Ah, dunia dengan segala kemungkinannya...

Investor legendaris bernama Howard Marks pernah berkata bahwa kita tidak dapat membuat prediksi mengenai masa depan, terlebih yang terkait dengan manusia seperti pasar modal. Akan tetapi, menurut Marks, kita dapat melihat sedang di mana kita hari ini. Apakah saat ini kita sedang menghidupi dunia yang terlampau optimis atau pesimis? Ibaratnya lotre, apakah terdapat lebih banyak tiket lotre yang berwarna hijau atau merah? 

Menarik gagasan ini lebih jauh, penulis berpandangan bahwa kita juga harus membandingkan di mana kita berada hari ini dengan di mana kita berada di masa lalu. Khususnya dalam situasi mengenai pasar saham Indonesia, kita harus membandingkan situasi hari ini dengan situasi sejenis lima tahun silam di kala pandemi. Apa yang berubah? Apa yang tetap sama? Seberapa lebih buruk atau lebih baik psikologi pelaku pasar hari ini dibanding lima tahun silam? Dan yang terpenting, apakah kondisi psikologis dan tindakan yang diambil berdasarkannya hari ini sudah sesuai dengan kenyataan ekonomi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun