Mohon tunggu...
Satriyo Wahyu Utomo
Satriyo Wahyu Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Egalite

Each works as its abilities, each takes as its needs | Instagram : @satriyowu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sedikit Refleksi Kebebasan Pers: Preseden Nurhadi Jurnalis Tempo

26 April 2021   21:34 Diperbarui: 26 April 2021   22:04 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konstelasi civitas negara---hampir di seluruh dunia---memiliki susunan pemerintahan dengan pejabat yang memiliki tugas mengakomodir kebutuhan publik atas dasar kepercayaan atau tunjukan langsung oleh publik itu sendiri. Seorang pejabat yang memiliki wewenang untuk mengatur jalannya pemerintahan diatur dalam peraturan-peraturan yang sifatnya mengikat agar orientasi tetap berdasarkan pada amanah dari publik. Namun, sebenarnya bukan melulu tentang aktivitas pejabat, melainkan bagaimana kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sesuai dengan  permintaan publik. Antara warga negara dengan wakil negaranya, dijembatani oleh jurnalisme atau pers. Pers dengan medianya, menyajikan data-data faktual di lapangan untuk memberi informasi kepada publik mengenai perhelatan pemerintahan, tentunya dalam rangka filosofisnya, yaitu bagaimana menciptakan dan menerapkan kebijakan pada suatu konsensus. Maka, pers memiliki posisi strategis dalam salah satu aspek pertanggungjawaban pemerintah, akuntabilitas. Selain itu, pers juga mendukung terciptanya masyarakat yang tahu dan cerdas, karena dengan memahami bagaimana pemerintah itu melakukan pekerjaaannya dapat mengembangkan pola pikir dan inovasi-inovasi masyarakat dalam menciptakan tata pemerintahannya sendiri pada ruang lingkup yang terkecil hingga yang terbesar.

Kondisi pers pada masa reformasi perlahan-lahan mencoba untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi haknya, yaitu kebebasan yang independen. Orde baru dengan sentralistis dan kediktatorannya yang sangat amat, mengintervensi pers---yang seharusnya independen---menjadi kaki tangan penguasa. Pers pada era reformasi, pers tidak lagi bergantung pada Departemen Penerangan seperti di era orba yang harus memiliki izin dari departemen tersebut. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga ikut serta mereformasi kondisi pers mengenai independensi dan kebebasan pers dalam pemberitaan. Bukti banyaknya media-media baru yang ikut serta menjadi bagian dari jurnalisme menandakan memang ada perubahan kondisi di masa reformasi. Tidak perlunya pers mengantongi izin liput dan publikasi juga merupakan bukti bahwa pers pada era reformasi telah kembali pada hakikatnya yang bebas dan independen. Pembredelan langsung oleh pemerintah terhadap media massa sudah tidak ditemui lagi pada era reformasi. Pembredelan itu bermakna pelarangan liputan dan publikasi dari pers oleh pemerintah, karena,---jika mengacu pada preseden di masa orba---tidak sesuai dengan keinginan pemerintah dalam hal publikasi mengenai aktivitas politik-pemerintah, serta mencoba untuk mengkritik dan membeberkan ketimpangan yang terjadi.

Namun, kebebasan itu bukan berarti terlepas dari tanggung jawab sosialnya. Pers harus diisi oleh kepentingan publik. Kebebasan bukan berarti bekerja tanpa ikatan sosial. Ruang sosial harus diisi dengan keperluan publik. Artinya, seyogyanya publikasi haruslah berisi konten-konten yang memiliki korelasi dengan kegiatan sosial. Inge Hutagalung dalam jurnalnya Dinamika Sistem Pers di Indonesia (2013) menjelaskan bahwa dengan diterapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, secara normatif pers di Indonesia telah menganut sistem pers tanggung jawab sosial. Gagasan Inge tentang pers yang memiliki tanggung jawab sosial tersebut tertuah pada ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Undang-undang itu berungsi mengatur agar jalannya independensi pers tetap berpegang teguh dengan data-data faktual di lapangan, bukan sekadar opini pribadi atau bahkan rasa sentimen. Undang-undang tersebut normatively mencoba untuk tetap menaruh perhatian pers pada objektivisme media, karena salah satu tonggak akuntabilitas pemerintahan terkandung disana.

Akan tetapi, tak dipungkiri meskipun pers di zaman reformasi dilabelkan mendapat kebebasan, pada praktiknya masih ada pembredelan pers yang dilakukan oleh beberapa oknum. Pembredelan tersebut memang tidak semasif pada era orde baru, melainkan oleh oknum-oknum kepada perseorangan jurnalis-jurnalis. LBH Pers mencatat kekerasan terhadap jurnalis pada 2020 mencapai 117 kasus. Angka ini tertinggi sejak pasca reformasi. Menurut Ade Wahyudi, Direktur LBH Pers, kebanyakan kekerasan kepada pers lantaran mereka meliput tindakan kekerasan aparat saat demonstrasi. Pada pertengahan Maret 2021 kemarin, juga terdapat kasus kekerasan kepada jurnalis Tempo, Nurhadi. Kekerasan itu ia dapat saat hendak meminta kejelasan (konfirmasi) kepada bekas Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Angin Prayitno Aji. Diduga, yang melakukan penganiayaan adalah "orang-orang terdekat" Angin Prayitno Aji. Meskipun kasus tersebut sudah diangkat pada tahap penyidikan, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Surabaya, Muhammad Djuir, memperkirakan terdapat nama-nama yang belum terungkap, terutama anggota polisi, TNI, dan pengawal Angin. 

Refleksi ini menyertakan fakta bahwa memang pers saat ini belum sepenuhnya terpenuhi hakikatnya, terkhusus bagi pemerintah yang seharusnya dengan powernya untuk menjamin kemerdekaan orang untuk menyebarluaskan informasi justru dilakukan oleh aparat yang merupakan bagian dari pemerintah itu sendiri. Penulis disini mengajak para pembaca tulisan ini untuk selalu menyuarakan apa yang ingin disuarakan, jangan takut, terutama jika terdapat urgensi mengenai nilai-nilai kemanusiaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun