Bertepatan dengan peringatan hari Pendidikan Nasional yang lalu, berbicara mengenai kesejahteraan dosen di Indonesia masih terasa jauh dari ideal. Meskipun di Ibukota Negara. Republik ini telah menerbitkan berbagai macam peraturan untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin kesejahteraan dosen. Namun, semua upaya tersebut tidak dirasakan implementasinya oleh seluruh dosen.
Masih banyak tenaga pengajar yang masuk kategori ekonomi lemah karena dibayar murah dan di bawah kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Kesenjangan tersebut akan terasa antara dosen yang berstatus PNS dan mengabdi di kampus negeri dibandingkan dengan dosen di kampus swasta apalagi di tengah penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat ini.
Gaji seorang dosen tetap di Institut Kesehatan Indonesia, sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, terbilang pas-pasan dan menerima gaji dengan jumlah di bawah standar upah minimum.
Nominal upah yang telah ditetapkan oleh Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tahun 2020 berada bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp4.276.349,906 per bulan. Selain menerima gaji rendah, pembayarannya pun selalu terlambat, terkadang melewati satu bulan.Â
Memasuki tahun 2020, pihak kampus dalam hal ini Yayasan Nusa Bhakti Husada tidak pernah menggaji seluruh pegawai. Wabah Korona seperti menjadi masa ujian dari tidak berjalannya sistem pengawasan terhadap undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen berikut dengan peraturan turunannya oleh Negara.
Ironinya, kejadian ini telah terjadi berulang kali karena pihak yayasan hanya memberikan janji tanpa jelas waktu pembayaran upah. Nasib dosen yang memang sudah sulit sebelum terjadinya pandemi Covid-19 menjadi semakin sulit terutama mengenai penggajian.
Sudah seharusnyalah Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengambil tindakan untuk menghindari terjadinya kehilangan pendapatan tenaga dosen. Dengan kondisi begini, tentunya akan mengorbankan mutu Pendidikan dan mengorbankan kegiatan belajar dan mengajar.