Menjelang Muktamar XVI PERSIS di Bandung, April 2021. Persatuan Islam (PERSIS) merupakan ormas pra kemerdekaan yang memiliki basis ratusan pesantren di pelosok negeri. Menarik untuk menelusuri alumnus pesantren  PERSIS yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai latar profesi yang masuk ke dalam berbagai ragam aliran kelompok dengan berbagai macam wacana keagamaan.
Persatuan Islam (PERSIS) sering dikenal sebagai organisasi masyarakat yang "galak", karena pemahaman keagamaan mereka cenderung keras, tanpa kompromi, hitam dan putih apalagi bicara aqidah dan fiqh ibadah.Â
Ahmad Hassan tokoh sentral Persatuan Islam (PERSIS) yang membawa ajaran Persis menjadi benar-benar populer, A. Hassan memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan secara tegas dan totalitas, semua urusan agama pada dua rujukan utama; Al-Qur'an dan Hadis bukan pada pendapat para kyai.
Hal tersebut di dukung oleh sebuah hadis; "Berhati-hatilah terhadap sikap menduga-duga (zhan), sebab sikap itu akan menggiringmu menjadi pendusta besar" (Akh Minhaji,2016:165) hadis tersebut kutipan dari kitab Shahih Al Bukhari no.6064, Shahih Muslim no.2563.
Jika kita rujuk sejarah, Persatuan Islam (PERSIS) sangat menentang "taqlid dan bid'ah" terutama taqlid terhadap para petinggi agama yang memiliki otoritas dalam fatwa dan pengaruh terhadap para pengikutnya. Maka Persatuan Islam (PERSIS) dulu menjadi organisasi modern yang menentang kejumudan dan absolutisme pimpinan agama.
Wajah Persatuan Islam (PERSIS) tersebut diantaranya sebagai antitesis dari gerakan keagamaan tradisional yang kental dengan praktik ajaran-ajaran lokal seperti klenik, ataupun budaya agama lain.
Persatuan Islam (PERSIS) sendiri memiliki basis umat di Jawa Barat, sebagaimana riset Jeremy Menchik dalam bukunya Islam and Democracy In Indonesia menyebutkan bahwa: "Persis founded in 1923 in West Java, is smaller reformist group with about 500.000, members." (Jeremy Menchik, 2016 : 6)
Akhirnya banyak simpatisan Persatuan Islam (PERSIS) yang bergabung menjadi anggota dan menyekolahkan anak-anaknya ke Pesantren Persatuan Islam (PERSIS). Pesantren sebagai basis dari warga Persatuan Islam (PERSIS). menjadikan dakwah dan pemahaman  Persatuan Islam (PERSIS) meluas seperti di era 70-80 an, alumnus dari pesantren persis kemudian keluar melakukan dakwah. Stigma dan Identitas Persis sebagai ormas yang keras terhadap TBC (Takhayul, Bid'ah, Khurafat) tidak berubah sampai akhir era 2000-an.
Namun, sebagaimana hari ini kita melihat, Persatuan Islam (PERSIS) seakan tampil dengan wajah yang lebih ramah dan toleran, seperti penghargaan yang diberikan oleh Kementerian Dalam Negeri tahun 2018 sebagai ormas tertua di Indonesia Khusus Bakti Sepanjang Hidup yang berperan dalam kemerdekaan dan sumbangsih serta peran terhadap Negara.
Lulusan-lulusan Pesantren Persatuan Islam (PERSIS) kemudian menghadapi tantangan baru selepas menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Persatuan Islam (PERSIS). Ada yang mengaku merasa dilematis ketika shock culture di perguruan tinggi. Lalu selepas kuliah, dan menjalani lingkungan yang berbeda, para alumnus sebagian mengaku malu menjadi warga alumnus dari Persis (yang berasal bukan dari keluarga Persis) karena Persis tidak lagi berbeda dengan "ormas" yang lain.