Mohon tunggu...
Rochani Sastra Adiguna
Rochani Sastra Adiguna Mohon Tunggu... wiraswasta -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Suluk Wujil [1]

31 Desember 2012   08:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:45 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

1.Ratu Wahdat

Adalah Sang Wujil Kinasih namanya, ia berkata pada sang Panembahan Ratu Wahdat. Ia bersujud pada  telapak kaki sang Maha dwija, yang tinggal di Bonang [Tuban] seraya memohon maaf, sebab ingin diwejang tentang seluk beluk agama yang terpilih sampai ke sir [rahasia] yang se dalam-dalamnya.

Sepuluh tahun lamanya Wujil berguru, belum mendapatkan pelajaran yang penting. Adapun Wujil berasal dari Majapahit, sebagai kinasih sang Raja. Pelajaran Paramasastra, Sastra Arab semua telah dikuasainya dengan baik. Karena tidak diberi pelajaran yang penting, maka Wujil pergi sekehendak hatinya. Setiap harinya bermain topeng sampai bosan, bertingkah laku seorang badut yang menjadi tumpuan olok-olok.

Sang Wujil Kinasih dengan sungguh-sungguh memohon belas kasih Sunan Bonang dengan menyerahkan hidup dan matinya. “ duh sang Mahamuni, hamba mohon diberi penjelasan tentang ajaran rahasia huruf tunggal menurut paham pangiwa dan panengen, karena  masih ada dalam tatanan gending dan syair.  Hamba tidak membawa hasil dan senantiasa meninggalkan kecintaan saya kepada Majapahit dan mengembara mengikuti kehendak hati. Oleh karena itu, pada suatu malam hamba pergi untuk mencari rahasia tentang kesatuan , kesempurnaan dalam semua tingkah laku. Hamba datangi orang suci , mencari intisari panguripan, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya. Titik akhir dari utara selatan, terbenamnya matahari dan bulan, tertutupnya mata dan keadaan akhir kematian. Titik akhir dari ada dan tiada.”

Panembahan Wahdat menjawab sambil tersenyum;” Wahai Wujil Kinasih, betapa kau sungguh gegabah, berkata yang bukan-bukan, terlalu berani, hatimu ingin menagih karena besarnya jasamu yang telah diberikan”

Tidak layak aku disebut sebagai orang suci di dunia, bilamana menjual ajaran membeli ajaran kitab, lebih baik aku jangan dipanggil ahli Wahdat.

Barangsiapa menjual belikan ilmu, bersikap sombong, seolah-olah tahu segala sesuatu, orang tersebut diibaratkan seperti burung bangau yang sedang bertapa di atas air. Diam tidak bergerak, pandangannya tajam, berpura-pura alim melihat mangsanya, seperti telur yang tampak putih diluar, di dalamnya bercampur merah.

Sang Wujil Kinasih membuat api unggun dibawah pertapaan  sang Dwijatama, di ujung tepi laut sebuah desa yang bernama Bonang. Tempatnya sunyi senyap, tidak ada buah-buahan yang dapat dimakan.

“Wujil, muridku, kemarilah segera.”

Sang Panembahan Wahdat memegang kucirnya seraya diusap-usap “ dengarlah kata-kata rahasiaku ini, kalaupun dari kata-kataku engkau masuk ke Neraka, saya sendiri yang akan dimasukkan ke dalamnya, bukan engkau!”

Wujil Kinasih berkata sambil bersembah dengan takzim ” Jangan paduka guru, lebih baik hamba Wujil Kinasih ini yang masuk ke Neraka”.

“Peringatanku Wujil, berhati-hatilah dalam hidup ini, jangan lengah, jangan sembrana dam mengambil tindakan. Man Arofa Nafsahu Faqod Arofa Rabbahu [barang siapa yang mampu mengenali diri sendiri, semata-mata dia mengenal Gusti Allah”

“ Ketahuilah kesejatian Salat itu, bukan Maghrib atau Isa’, itu hanya dapat disebut sembahyang, kalau pun disebut Salat itu, karena bunganya Salat Daim dan merupakan Tata krama.”

Wujil Kinasih, mendengarkan sambil menundukkan kepala dengan khidmat. Kemudian Panembahan Wahdat melanjutkan “ Jangan menyembah, bilamana tidak diketahui siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabatmu. Seperti menulup seekor burung, peluru kau hambur-hamburkan, burungnya tidak kena. Akhirnya menyembah Adam Sarpin sembahnya sia-sia.”

Wujil Kinasih masih belum  dapat menangkap dengan jelas, tetapi dengan takzim, mendengarkan wejangan gurunya.

“adapun puja atau pujian itu meski siang dan malam memuja kalau tidak disertai petunjuk tidak akan sempurna. Ketahuilah yang disebut puja itu keluar masuknya nafas. Dan juga anasir yang empat perkara [ tanah, air, api dan angin].  Dahulu kala ketika ‘ada’ diciptakan, adapun sifatnya ada empat hal yakni kahar, jalal, jamal dam kamil]. Delapan sifat itu dalam badan manusia keluar-masuk. Jika keluar kemana arahnya, jika masuk dimana tempatnya. Tua dan muda itu sifat bumi, jika tua dimanakah mudanya, jika muda dimana tuanya. Sifat air itu Hidup-mati, bilamana hidup dimana matinya, jika mati dimana hidupnya. Sifat Api itu kuat-lemah, jika kuat dimana letak lemahnya, namun apabiola lemah dimana letak kuatnya. Yang keempat sifat Angin yaitu ada-tiada. Jika ada dimana tidak adanya, dan ketika tidak ada dimana adanya.”

Kau akan tersesat apabila tidak mengetahuinya, ketahuilah pegangan hidup adalah mengetahui akan dirinya sendiri, dan tiada hentinya memujiNya. Dimana letak doa dan tujuan doa jangan sampai engkau tidak mengetahuinya.

Hidup yang sejati itu bagaikan burung, sesaat terbang jauh, hinggap di dahan sebentar dan terbang lagi, bilamana engkau ingin mengetahui kesejatian dirimu, maka perbaikilah dirimu. Tinggalah di suatu tempat yang sepi, jangan terpengaruh dari keramaian dunia. Jangan jauh-jauh engkau mencari Guru, karena Guru sejati ada di dalam dirimu.

Rusaknya dirimu bukan karena orang lain, tetapi karena kehendakmu sendiri.

[dilanjut ke 2]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun