Bayangkan ada seorang karyawan bernama Budi. Ia selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik sebelum waktu pulang kerja. Namun, setiap tawaran lembur atau tugas tambahan di luar jobdesk Budi, ia tolak dengan halus. Budi tidak sedang malas, tetapi ia sedang melakukan quiet quitting.
Quiet quitting adalah fenomena seorang karyawan yang hanya bekerja sesuai deskripsi tugas minimum, tanpa antusiasme berlebih, tanpa lembur sukarela, dan tanpa mengambil tanggung jawab yang tidak dihargai (Daugherty, 2024). Meskipun seringkali dicap sebagai bentuk kemalasan oleh generasi yang lebih tua, fenomena quiet quitting sebenarnya sebuah respons sehat terhadap budaya kerja eksploitatif yang sudah tidak relevan lagi di masa kini.
Mengapa quiet quitting dianggap sebagai respons yang sehat? Ada beberapa alasan yang mendasarinya, yakni:
- Karyawan Memiliki Batasan yang Sehat
Dengan menerapkan quiet quitting, karyawan dapat melindungi dirinya dari burnout karena terdapat batasan antara urusan pribadi dan urusan pekerjaan. Sebanyak 46% gen Z merasa stres sepanjang waktu (Deloitte, 2023) sehingga adanya batasan membuat karyawan tidak perlu merasa terbebani ketika pulang tepat waktu atau bahkan tidak perlu merasa bersalah jika mengambil cuti karena itu merupakan haknya sendiri sebagai karyawan.
- Bentuk Kritikan terhadap Loyalitas Palsu
Perusahaan seringkali menuntut kerja keras ekstra dari pekerjanya dengan alasan bahwa itu adalah bentuk loyalitas kepada perusahaan. Namun, apakah perusahaan berlaku sebaliknya juga? Apakah perusahaan memberikan jaminan keamanan kerja kepada karyawan? Apakah perusahaan benar-benar peduli dengan keadaan karyawan? Loyalitas di perusahaan tidak jarang hanya berlaku satu arah, yaitu dari karyawan ke perusahaan, tetapi jarang berlaku sebaliknya.
- Melawan Eksploitasi Terselubung
Tak jarang perusahaan menjadikan karyawan sebagai tenaga kerja gratis dengan mengeksploitasi mereka untuk melakukan tugas yang bukan bagian dari tanggung jawab mereka. Quiet quitting menjadi cara untuk menegaskan bahwa karyawan juga manusia, mereka layak untuk diperlakukan dengan semestinya, dengan melakukan pekerjaan yang sesuai dengan tanggung jawab mereka.Â
Di sisi lain, mungkin banyak manajer dan pemilik perusahaan merasa bahwa apa yang dilakukan oleh generasi mudah ini malah menghambat kemajuan perusahaan, mematikan inovasi, menghambat kolaborasi tim, dan bahkan bisa merugikan perkembangan karier karyawan itu sendiri. Namun, pandangan ini keliru. Quiet quitting bukan berarti menolak bekerja keras, tetapi menolak bekerja di luar jam dan tugas yang telah disepakati tanpa diberikan kompensasi yang layak. Selain itu, karyawan yang baik adalah karyawan yang mampu bekerja secara efektif dan efisien, bukan karyawan yang paling lama berada di kantor.
Sebagai penutup, quiet quitting bukanlah ancaman bagi produktivitas perusahaan, tetapi sebuah reformasi budaya kerja yang lebih memanusiakan manusia. Fenomena ini menyadarkan kita bahwa kesejahteraan merupakan hal yang sangat mendasar. Perusahaan perlu membangun sistem kerja yang transparan dan adil. Sementara itu, karyawan juga perlu untuk terus mengasah kompetensi dan menjaga integritas profesionalnya. Pada akhirnya, perusahaan dan karyawan perlu mendorong pertumbuhan bersama secara sadar.
Referensi
Daugherty, G. (2024, October 8). What is quiet quitting—and is it a real trend? Investopedia. Retrieved October 7, 2025, from https://www.investopedia.com/what-is-quiet-quitting-6743910
Deloitte. (2023, May 17). 2023 Gen Z and Millennial Survey: Striving for balance, advocating for change. Deloitte. https://www.deloitte.com/global/en/about/press-room/2023-gen-z-and-millenial-survey.html
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI