"Sudah waktunya, Yah!" kata Reni pada Bagyo suaminya.
"Aku sudah capek, Bu. Kapan semua ini akan berakhir?" keluh Bagyo.
"Demi aku, Yah. Demi anak-anak kita!" tegas Reni yang kemudian meninggalkan Bagyo termangu sendiri di teras belakang rumahnya yang bak istana.
***
Hari menjelang magrib saat iringan mobil dari Jakarta memasuki kabupaten Karanganyar, satu jam lagi rombongan itu akan sampai di dukuh Tulakan Wetan, desa asal Bagyo. Di kursi samping supir, lelaki berperawakan sedikit gemuk itu tampak melamun, pandangannya kosong. Berbagai macam peristiwa melintas di benaknya seperti potongan film pendek yang diputar acak. Sementara di kursi belakang dua karyawan kepercayaannya tertidur kelelahan. Bagyo menarik nafas panjang, kepulangannya saat ini bukan tanpa alasan. Selain menengok rumah peninggalan simbahnya, tempat dia dulu dibesarkan saat bapak dan ibunya meninggalkan tanggung jawab atas dirinya.
"Sudah sampai, Mas!" kata Wandi, supir sekaligus kawan sedesanya menggamit tangan Bagyo yang melamun.
"Ya, Ndi. Aku mau istirahat dulu malam ini, besok pagi tolong temani aku nyekar ke makam simbah. Kamu mau istirahat di sini atau di rumah ibumu, terserah kamu saja. Tolong bangunkan Bayu sama Andri, suruh mereka masuk. Kasihan kalau tidur di mobil, bisa sakit semua badan mereka besok?" sahut Bagyo seraya membuka pintu mobil, dia mencari kunci rumah di dalam tas yang disandangnya.
"Barang-barang biarkan saja di mobil, Ndi! Besok saja diturunkan." kata Bagyo lagi sebelum masuk ke dalam rumah berarsitektur kuno itu.
***
Pada saat yang sama, Reni dengan dua orang karyawannya keluar dari salah satu rumah di pinggiran desa Cawas, Klaten. Rumah Indah, salah satu pegawai yang bekerja sebagai pengasuh anaknya dua bulan terakhir ini. Senyum Reni mengembang, tanda kemenangan telah diperolehnya.
***