Mohon tunggu...
Sarah Olga Marsaulina Silalahi
Sarah Olga Marsaulina Silalahi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi

Seorang penulis amatir yang sederhana dan tidak terlalu cerdas, namun punya harapan bahwa tulisannya menghibur dan bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Najla vs Dunia Pendidikan, Sebuah Opini

24 Mei 2024   00:42 Diperbarui: 24 Mei 2024   00:45 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Beberapa waktu lalu – tidak sampai setahun silam – saya pernah menulis sebuah artikel opini, mirip dengan yang satu ini. Artikel tersebut sejatinya merupakan sebuah tugas pengkaderan fakultas atau tugas ospek yang pada saat itu saya pandang memberatkan dan menyusahkan. Pada bulan September itu, saya yang baru saja beberapa bulan lalu lulus SMA benar-benar yakin bahwa tugas tersebut hanya ada untuk melatih kemampuan menulis para mahasiswa baru saja. Tidak ada ekspektasi isi atau gagasan tertentu yang ditetapkan oleh para panitia. Penugasan artikel tersebut hanya printilan tidak penting bagi proses pendewasaan saya.

Pada saat itu, kami diinstruksikan untuk membuat sebuah review mengenai artikel yang ada di wadah berita tertentu, dan artikel yang di-review tidak boleh sama. Dalam pencarian, saya menemukan sebuah artikel menarik mengenai Najla Hidayah, seorang pimpinan pesantren. Ia merupakan seorang wanita muda yang menjadi pewaris Pondok Pesantren As’ad di Jambi yang didirikan oleh buyutnya, Kyai Abdul Qadir Ibrahim. Seorang wanita menjadi pimpinan pesantren merupakan hal baru bagi saya. Saya memang tidak mengetahui banyak mengenai dunia santri ataupun birokrasi dan ketetapan yang ada, namun mendengar bahwa seorang perempuan seperti saya sanggup menjadi pimpinan dari pondok tersebut membuat hati saya agaknya tersenyum bangga – padahal kenal Najla saja tidak.

Tetapi isu feminisme bukan yang menjadi bahasan saya kali ini, melainkan isu hak dasar – atau setidaknya secercah harapan – bagi seluruh bangsa Indonesia. 

“Biaya harus gratis atau paling tidak murah dan terjangkau.” begitu kata Najla. Tentu saja yang ia rujuk dalam perkataan ini adalah biaya pendidikan. Begitu luar biasa bagi saya bahwa di Pesantren As’ad, pendidikan digratiskan untuk bukan hanya tingkat dasar, namun juga perguruan tinggi. Dalam wawancara yang dilaksanakan dengannya, ia menuturkan mengenai harapan serta amanat yang dititipkan padanya, bahwa pendidikan menjadi kebutuhan yang mudah diakses setidaknya di Ponpes As’ad. 

Larut dalam kekaguman kepada Najla dan dengan kebanggaan dan emosi yang menggebu – serta mungkin dipengaruhi sedikit adrenalin karena tergesanya menulis akibat tenggat waktu yang mengejar – saya menulis: “Pendidikan yang terjangkau adalah hak dasar setiap individu,”. Pada saat itu, saya amat percaya bahwa pendidikan di Indonesia sedang menuju ke level yang lebih baik, di mana pengelolaan alat-alat pendidikan – seperti sekolah dan universitas – akan berkembang, sehingga anak-anak dan remaja-remaja di luar sana juga dapat berkembang.

Ternyata, angan tersebut harus disimpan dulu untuk sekarang. Dengan banyaknya berita mengenai meningkatnya UKT di berbagai perguruan tinggi, saya berduka untuk sistem-sistem yang ada. Saya tidak mengolok kenaikan yang ada. Saya yakin, para pejabat dan petinggi sudah melakukan pertimbangan matang untuk perihal ini. 


Adanya ketentuan bahwa beberapa universitas diharuskan membiayai semua fasilitas dengan dana mandiri universitas tersebut pastinya juga memperkeruh keadaan. Akan tetapi, izinkan saya untuk kembali pada Najla Hidayah dan Pesantren As’ad. Untuk menopang biaya pendidikan bagi para santri, para pengurus mengusahakan enam unit bisnis yang berjalan dengan efektif. Laba bersih dari bisnis yang ada disebutkan mencapai 130 juta rupiah per bulannya. Dengan laba tersebut, para pengurus ponpes menopang pendidikan para santrinya sekaligus membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi orang banyak.

Pesantren As’ad yang sejatinya bersifat swasta mampu untuk membukakan keuangan yang dibutuhkan dan dihasilkan guna menunjang pendidikan banyak remaja. Sangat disayangkan bahwa banyak universitas negeri di Indonesia tidak mampu melakukan hal yang sama.

Dilansir dari BBC News Indonesia (2024), UKT di Universitas Sumatera Utara mengalami kenaikan 200% untuk golongan tertinggi, yaitu dari Rp10 juta menjadi Rp30 juta. Kenaikan yang sama mengkhawatirkannya juga dilaporkan Elok Nuri di artikelnya dalam website Narasi, yang mana Universitas Indonesia meningkatkan UKT golongan 3 menjadi Rp7,5 juta–Rp 12,5 juta dari yang sebelumnya Rp2 juta–Rp4 juta saja. Di tengah keresahan ini, malah muncul pernyataan dari seorang guru besar dan Plt. Sekretaris Ditjen Dikti Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie: pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier. Beliau mengatakan bahwa pendidikan tinggi bukan wajib belajar.

Pernyataan tersebut mungkin memang benar, pendidikan tinggi bukan menjadi fokus utama Kemendikbud. Namun amat sangat mengecewakan bahwa di tengah polemik mengenai UKT dan pendidikan malah terucap perkataan yang seakan meremehkan masalah ini. Walau pendidikan tinggi tidak wajib, namun bukankah seharusnya diusahakan dan diperjuangkan demi perkembangan ekonomi seorang individu? Bahkan jika ingin berlindung di balik kata objektif, bukankah dengan banyaknya lulusan sarjana, roda ekonomi di Indonesia akan semakin berputar? 

Saat ini yang saya permasalahkan mungkin bukan lagi peningkatan UKT. Lagipula sepertinya amat sulit apabila surat keputusan yang sudah dirilis harus ditarik kembali. Akan tetapi kami, para mahasiswa, perlu kejelasan dan transparansi juga. Mengapa harus terjadi peningkatan UKT apabila sejauh ini proses pendidikan tinggi dapat berjalan dengan baik? Uang kuliah sepertinya terus meningkat, namun tidak tampak adanya peningkatan pada kualitas pendidikan. Yang ada malah pembangunan dan renovasi yang terkadang menimbulkan tanda tanya – sebenarnya apa esensi dan urgensi dari pembangunan tersebut?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun