Mohon tunggu...
M. Sapwan
M. Sapwan Mohon Tunggu... photo traveling di malang

saya dari Lombok

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maulana Syaikh , Haji Ahmad dan Sate Pare

28 Juni 2025   10:24 Diperbarui: 28 Juni 2025   10:24 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paling Depan Haji Ahmad, membuka jalan untuk Maulana Syaikh

Taman Cinta Sang Maulana #01

#tamancintasangmaulana

Catatan : Muhammad Sapwan

Senja itu meluruh perlahan di langit Karang Bata Kota Mataram. Cahaya keemasannya membelai pucuk-pucuk pohon kelapa, membentuk bayang-bayang panjang di pekarangan Madrasah NW Karang Bata. Di sana, jamaah sudah berkumpul sejak ba'da Zuhur, duduk rapi, sebagian bersandar di tiang-tiang tetaring, sebagian lagi berselimut dzikir dalam diam.
Mereka menanti seorang tamu agung: Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid---ulama karismatik yang tak pernah absen menapaki jejak-jejak umatnya, dari lembah ke lembah, dari kampung ke kampung. Dengan sorban putih yang berkilau di bawah cahaya remang sore, beliau dikenal sebagai Abul Madaris wal Masajid. Sosok yang bukan hanya membangun lembaga, tetapi membangun jiwa. Dalam letih beliau, justru tampak cahaya. Dalam peluh beliau, tumbuh harapan.
Jarak perjalanan bisa berpuluh-puluh kilometer, dengan medan tempuh yang tentu tidak semulus jaman sekarang. Pagi pengajian di Pancor, Siang di Bayan, sore di Abiantubuh dan pulang ke Pancor menjelang magrib. begitulah rutinitas Maulana . Beliau menembus puluhan kilometer tanpa keluh, tanpa pamrih. Hanya ada semangat menyampaikan ilmu, dan cinta pada umat.
Di balik setiap pengajian besar, ada sosok penting: Ustad Ahmad Rifai, atau lebih dikenal sebagai Haji Ahmad. Panggilan penuh kasih dari Maulana Syaikh sendiri kepada beliau adalah Haji Madun. Dialah pembawa kabar. Di masa belum ada telepon genggam, belum ada pesan instan, Haji Ahmad lah sang kurir dakwah. Dengan motor tua yang bunyinya menggelegar di tikungan, ia singgah dari satu dusun ke dusun lain---Gunung Sari, Narmada, Kediri, Gerung, hingga Karang Bata. Mulutnya ringan menyampaikan jadwal pengajian, hatinya ringan membawa amanat ilmu. Tak sekali dua, motor butut itu mogok di tengah jalan. Tapi semangat Madun tak pernah mogok. Kadang hujan menampar, kadang terik menyengat, tapi wajahnya tetap cerah, karena ia tahu, di ujung perjalanan ada yang menanti: umat, ilmu, dan Maulana.
Di Madrasah Karang Bata, Maulana tiba sekitar jam tiga sore. Suara Rabbana Ya Zaljala menyambutnya. Beliau duduk di kursi kayu berlapis sajadah, mic didekatkan ke mulutnya, dan... udara pun seolah berubah. Kata-katanya lembut, tapi tegas. Suaranya pelan, tapi menembus dada. Beliau tidak sekadar berceramah. Ia menyiram hati, menghidupkan akal, dan menyalakan kembali ruh semangat yang redup.
Dan ketika senja menjingga benar-benar datang, Maulana menutup ceramahnya dengan doa yang khidmat. Air mata jatuh perlahan di pipi jamaah, termasuk milik Haji Ahmad, sang penjaga informasi. Usai pengajian, seperti biasa, Maulana diundang untuk makan sore di rumah warga. Hidangan disiapkan dengan hormat, ditata penuh cinta. Tapi ada satu hidangan yang hampir tak pernah absen: Sate Perie (Pare). Sebuah sajian sederhana namun istimewa. Tahu dari mana warga menyuguhkan itu? Dari Haji Ahmad, tentu saja. Dulu, ketika Haji Ahmad masih mondok di Pancor, ia tinggal di dekat Gdeng (kediaman) Maulana Syaikh. Ia tahu betul apa yang disukai gurunya---dan salah satunya adalah sate perie. Maka, dari rumah ke rumah, dari hidangan ke hidangan, sate perie selalu hadir sebagai simbol cinta---sederhana namun sarat makna.
Kini, tahun-tahun telah bergulir. Madrasah Karang Bata masih berdiri, sebagian wajah jamaah telah berganti. Namun jejak kaki Maulana Syaikh dan langkah motor Haji Ahmad tak pernah benar-benar hilang. Mereka menjadi legenda yang hidup dalam ingatan, dalam cerita, dalam aroma sate perie. Kalau saya rindu Maulana seperti hari ini. saya minta istri membuatkan sate Perie. Rindu pada Maulana., Rindu pada Pak haji Ahmad.
Rindu pada masa ketika perjuangan adalah ibadah, dan ibadah adalah cinta.
Al-Fatihah untuk Maulana Syaikh TGKH. Zainuddin Abdul Madjid.
Al-Fatihah untuk Haji Ahmad Rifai yang setia.
"Yang berjalan dengan cahaya, akan selalu dikenang walau telah lama tiada."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun