Mohon tunggu...
Sapraji
Sapraji Mohon Tunggu... Konsultan Politik | Manajemen | Analis Kebijakan Publik | Peneliti | Penulis

Political Consultant, Management, Public Policy Analyst and Founder of IDIS INDONESIA GROUP

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Berani Memihak Rakyat, Menggugat Logika Pertumbuhan Demi Kesejahteraan Sejati

26 Agustus 2025   06:36 Diperbarui: 26 Agustus 2025   06:36 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Berani Memihak Rakyat, Menggugat Logika Pertumbuhan Demi Kesejahteraan Sejati. (Foto: Idisign)

Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada 15 Agustus 2025 lalu kembali menegaskan target pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 6-7 persen dalam lima tahun ke depan. Angka ini dianggap ambisius dan penuh optimisme, mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dekade terakhir hanya berkisar pada 5 persen. 

Namun di balik jargon pertumbuhan, ada pertanyaan yang jarang diajukan apakah pertumbuhan ekonomi benar-benar menjadi ukuran utama kesejahteraan rakyat? Atau justru angka itu menutupi jurang ketidakadilan sosial yang semakin melebar? 

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang penting, tetapi bukan tujuan akhir. Ia hanyalah alat. Sejarah pembangunan nasional menunjukkan bahwa mengejar pertumbuhan tanpa menata distribusi hasilnya hanya melahirkan paradoks, ekonomi tumbuh, tetapi rakyat banyak tetap sengsara. 

Pertumbuhan yang Menyilaukan, Kesejahteraan yang Tertunda

Dalam setiap pernyataan resmi, angka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) selalu ditonjolkan sebagai prestasi. Tahun 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1 persen. Sektor konsumsi rumah tangga masih menjadi motor penggerak, diikuti investasi dan ekspor.  

Namun, data yang sama menunjukkan ketimpangan yang sulit diabaikan. Rasio gini Indonesia pada Maret 2024 masih berada di angka 0,388, meningkat dibanding 0,381 pada 2022. Bank Dunia juga melaporkan bahwa 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai hampir 77 persen kekayaan nasional. 

Kemiskinan pun masih membayangi. BPS mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 25,22 juta orang atau 9,36 persen dari total penduduk. Sementara itu, Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan prevalensi stunting masih di 19,8 persen, artinya hampir 1 dari 5 balita tumbuh kerdil. 

Di sektor pendidikan, angka partisipasi murni SMA/SMK pada 2024 baru mencapai 68,45 persen. Masih jutaan anak usia sekolah menengah yang tidak bersekolah, meski ekonomi nasional tumbuh. Gambaran ini menegaskan bahwa pertumbuhan sering kali hanya menyilaukan, sementara kesejahteraan nyata rakyat banyak tetap tertunda. 

Logika pertumbuhan seperti ini gagal. Ia menempatkan rakyat sebagai angka statistik, bukan subjek pembangunan. Pemerintah sibuk mengerek PDB lewat investasi besar dan hilirisasi sumber daya alam, sementara ketimpangan lahan, upah rendah, dan lemahnya perlindungan sosial dianggap efek samping yang bisa ditoleransi. Padahal, contoh Vietnam menunjukkan sebaliknya dengan pertumbuhan lebih rendah, mereka berhasil menekan kemiskinan ekstrem hingga di bawah 2 persen berkat jaminan sosial yang kuat. 

Saatnya Keberanian Politik untuk Berpihak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun