Presiden Prabowo Subianto baru saja menerbitkan keputusan yang mengejutkan publik, memberikan abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto, dua tokoh yang sebelumnya terlibat dalam kasus dugaan penyimpangan kebijakan ekonomi dan hukum. Pemerintah menyebut ini bentuk rekonsiliasi untuk membangun harmoni politik dan ekonomi sosial. Namun pertanyaannya mendasar, apakah ini rekonsiliasi atau justru membuka celah erosi supremasi hukum?Â
Menurut UU No.5 Tahun1960 (Abolisi) dan UU No.5 Tahun1998 (Amnesti), Presiden memiliki kewenangan memberikan pengampunan hukum. Tapi sepanjang data publik yang tersedia, tidak ada indikasi publik maupun audit independen yang memastikan proses ini memenuhi standar transparansi apalagi pertimbangan moralitas dan implikasi politik jangka panjang. Dalam konteks demokrasi normal, pemberian amnesti kepada orang-orang yang sempat memegang jabatan publik tinggi semestinya melalui prosedur evaluasi yang ketat dan konsultatif yang sejauh ini tidak publik dilakukan.Â
Hasil analisis indeks kepercayaan publik Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Juli-Agustus 2025 menunjukkan tren turun sebesar 5 poin, jika publik melihat amnesti diberikan tanpa alasan yang meyakinkan. Survei itu juga menyebut 58% responden menyatakan khawatir amnesti dapat memberi sinyal politik transaksi, bukan pertobatan.Â
Menuju Kebijakan Adil: Sinergi Kekuasaan dan Supremasi HukumÂ
Langkah amnesti ini jika islami diletakkan sebagai rekonsiliasi nasional sebagaimana Presiden prabowo berkali-kali menyampaikan komitmen terhadap stabilitas politik dan ekonomi harus disertai mekanisme pengawasan publik dan pertanggungjawaban moral. Tanpa itu, kebijakan ini mengikuti jejak pemaafan vertikal yang mengabaikan hak korban, akuntabilitas, dan transparansi. Tidak ada rekonsiliasi tanpa pemulihan integritas institusi. Tidak ada stabilitas yang sehat tanpa supremasi hukum.Â
Solusinya adalah transformasi kebijakan amnesti dengan pendekatan yang inklusif:Â
- Audit Rekonsiliasi Mandiri: Bentuk lembaga independen yang mereview latar belakang kasus, dampak politik-ekonomi, dan integritas figur yang diberi amnesti.
- Litani Publik dan Konstitusi: Setiap kebijakan gagal hukum yang mendapat amnesti wajib disertai penjelasan tertulis kepada DPR dan publik; disertai agenda pendidikan moral dan anti korupsi.
- Langkah Reformasi Institusi: Amnesti tidak boleh menjadi alat toleransi sistemik terhadap perilaku korporasi dan politisi. Diperlukan reformasi etika, meritokrasi, dan profesionalisme dalam birokrasi dan lembaga ekonomi publik
Amnesti Presiden bukan sekadar kebijakan hukum, tapi sinyal budaya politik. Apakah bangsa memilih rekonsiliasi yang meluruskan institusi, atau memprioritaskan stabilitas yang tumbuh dari toleransi atas kecacatan hukum? Jika supremasi hukum dan kepercayaan publik ingin tetap berdiri, maka amnesti ini harus dirancang bukan sebagai hadiah, melainkan sebagai bagian dari proses perbaikan tata kelola, rekonsiliasi moral, dan transformasi demokrasi. Â
Mungkin bagi beberapa pihak ini adalah momentum bersejarah dalam menjalin persatuan. Tapi tanpa landasan transparansi dan konsultasi publik, kebijakan pemaafan seperti ini akan menjadi preseden buruk, memperkuat kekuasaan atas hukum bukan hukum atas kekuasaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI