Minggu, 24 September 2017. Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali dalam berbagai komponen yang ada, berbagai Program Studi, Dosen, Unit Kegiatan Mahasiswa, Senat Mahasiswa, bergerak bersama dalam rangka Peduli Pengungsi akibat Status Awas Gunung Agung.
Banyak yang bertanya, "Kok saya gak diberitahu?", "Mengapa mendadak, bu?", "Harusnya kita koordinir dan kita rapatkan terlebih dahulu", "Apakah kita berangkat dari kampus, bu?", "Bawa an nya apa saja, bu", "Maaf kami tidak bisa menyumbang apa pun, bu", "Wah, teman kami ada beberapa yang keluarganya juga termasuk pengungsi di banjar-banjar yang ada, bu"........
Ehmm..... Peduli. Kemanusiaan. Empati. Terkadang, hanya perlu membiarkan nya mengalir apa adanya. Ini merupakan gerakan spontanitas. Kekuatan dari doa, harapan, kemauan, dan mewujudkannya menjadi nyata. Se kecil apa pun tindakan, sejauh itu positif, aku yakin, Tuhan akan membantu kita semua.
Jum'at, 22 September 2017. Bersama rombongan STP Nusa Dua Bali, melayat ke rumah duka keluarga ibu Dr. Ni Made Eka Mahadewi di Desa Mayungan Let, Desa Antapan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Bersama bapak Putu Tonsen dan ibu Suci Artini yang mengendarai motor NMax, kami bergerak menuju Klungkung. Mereka ingin mengunjungi keluarganya, sedangkan aku melayat Sang Maestro, Nyoman Gunarsa, yang wafat awal September 2017. Sehabis memberikan penghormatan terakhir bagi beliau, kusempatkan berkunjung ke GOR Swecapura, yang terletak di Desa Gelgel, Klungkung. Pemandangan yang kulihat membuatku menangis, dan berjanji akan mencoba membantu mereka dengan cara yang kubisa.
Disinilah kekuatan media sosial. Info yang kusebarkan mulai Sabtu pagi, 23 September 2017, melalui beberapa pesan singkat, umpan yang kutebar, bak gayung bersambut. Kuhubungi Pak Drs. I Putu Tonsen, dan juga pak Drs. I Wayan Mulyana, M.Ed., selaku pejabat dalam jajaran dan jejeran manajemen lembaga mengenai rencana kegiatan. Beberapa mahasiswa memberikan respon. Beberapa sahabat tergerak bergabung. Â Beberapa saran yang masuk, minta untuk disebar ke berbagai lokasi. Namun aku tidak berani memecah mereka. Alasannya, problem yang mungkin kami hadapi dalam memantau, mengendalikan, melaksanakan kegiatan. Saran lain, memberikan bantuan berupa uang. Namun yang paling tepat adalah memberikan mereka kesempatan mengkoordinir kelas mereka masing-masing, dengan niat tulus untuk peduli bagi pengungsi dampak status awas Gunung Agung.
Kembali kami berdiskusi, tentang sasaran kegiatan. Lebih tepat bantuan yang diberikan adalah makanan dan minuman dalam dus, agar praktis. Tentang kemungkinan menuju lokasi lain, karena di GOR Swecapura Klungkung sudah penuh bantuan, ku bilang tetap lanjut dengan tujuan di GOR Swecapura ini merupakan induk posko bagi 105 pos lain yang tersebar di berbagai Bale Banjar dan tempat lain di Kabupaten Klungkung. Ya, GOR Swecapura ini pula merupakan induk posko bagi tiga kecamatan lain, yakni Klungkung, Banjarangkan, dan Dawan yang terdapat di Kabupaten Klungkung. Data terakhir hari Sabtu malam, 23 September 2017, memperlihatkan, terdapat 1080 kk dan 3.741 jiwa yang menjadi pengungsi status awas Gunung Agung yang terdapat di Kabupaten Klungkung. Padahal hari Jum'at, 22 September 2017, masih 850 jiwa yang berada di GOR Swecapura Klungkung.
Akhirnya, kami sepakati berangkat hari Minggu pagi, 24 September 2017. Meeting point pertama, daerah Sanur. Bersama mengendarai beberapa sepeda motor, dan beberapa mobil, kami bergerak menuju Klungkung. Aku berboncengan bersama Adi, anakku yang kini merupakan alumni STP Nusa Dua Bali. Takjub pada respon mereka bersama, sehingga akhirnya bergabung di GOR Swecapura Klungkung.