Mohon tunggu...
Pendidikan

Hubungan Terapeutik dan Empati dalam Keluarga

28 Maret 2019   21:15 Diperbarui: 28 Maret 2019   21:28 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ada seorang anak perempuan yang mulai kecil terbiasa lebih dekat dengan ibunya (karena ayahnya meninggal saat ia masih bayi) ia merupakan anak terakhir dari 4 bersaudara, yang mana kakak kakaknya sangat sayang dengan anak ini. Semuanya harus dengan ibu, apa apa harus ibu dulu yang tahu, setelah itu baru kakak perempuannya. Ia teramat sayang dan bergantung dengan ibunya.

Hingga pada saat duduk di bangku SMP kelas 3, ibunya sakit sakitan dan harus bolak balik rawat inap di rumah sakit. Puncaknya saat anak perempuan tersebut berada pada kelas 10, ia harus menerima kenyataan bahwa ibunya didiagnosa kanker kolon (kanker usus besar) serta harus menjalani kemoterapi.

Yang membuatnya semakin terpuruk adalah ketika dokter memberitahukan bahwa kanker yang diidap oleh sang ibu sudah memasuki stadium akhir (stadium 4). Jadi, kemoterapi hanyalah sebagai pembantu agar ibunya bisa memiliki 'waktu hidup' yang agak lama.

Sampai kemudian hal yang ia takutkan dan yang paling ia benci terjadi, 2015 bulan September tanggal 3, ia harus menerima kenyataan paling menyakitkan bahwa ibu yang ia cintai harus kembali ke pangkuan Allah. Terpukul, iya.

Bahkan sampai pernah merasa tidak berharga lagi karena orang yang selama ini paling dibutuhkan sudah tidak berada lagi disampingnya, untuk selamanya. Selama tujuh hari, kakak kakak nya memberi space untuk dia bersedih dan memaklumi bahwa ia memang masih kehilangan.

Selanjutnya, selama kurang lebih 2 mingguan dia memilih banyak menghabiskan waktu dalam kamar, tidak ceria seperti kepribadiannya biasanya. Oleh karena itu, kemudian sang kakak perempuan menyempatkan waktu untuk satu hari penuh menemaninya dan banyak mengobrol serta tukar pikiran dengannya.

Meskipun tentunya sama sama merasa kehilangan, sang kakak berusaha menempatkan diri sebagai seseorang yang bisa dijadikan contoh untuk ikhlas menerima kenyataan, ia selalu ingat akan kata kata kakaknya seperti, "dek, harus ikhlas, harus semangat, kita loh masih punya ibu, beliau memang sudah wafat tapi bukan berarti kita menjadi anak yang gak punya ibu.. ibu ada di dalam diri kita, di hati kita, ibu ada terus sama kita. Cuma memang raga beliau sudah gak satu alam sama kita. Kamu gak boleh sediiih terus kayak gini."

"Ayo balik ke kamu yang dulu lagi, yang ceria, yang lucu. Ibu juga nanti sedih kalau liat kamu kayak gini. masih banyak orang yang sayang sama kamu. Sudah, ayo semangat lagi, masak anaknya ibu sedih terus kayak gini. Gak boleh." Sang kakak mengatakan hal tersebut dengan memeluknya erat erat sementara ia meluapkan kesedihannya dengan tangisan.

Setelah kejadian itu, ia mulai meresapi kata kata yang dikatakan kakak nya, ia mulai memperhatikan bahwa orang orang disekitarnya juga sangat memberikan dukungan agar ia kembali ceria dan ikhlas menerima keadaan. Ia berangsur angsur menjadi pribadi yang ceria kembali sampai sekarang ini.

Nah, hal yang dilakukan sang kakak perempuan kepada adiknya tersebutlah yang disebut dengan hubungan terapeutik yaitu sebuah hubungan (biasanya lebih dilakukan antara konselor dengan kliennya) yang mana interaksinya dilakukan secara sadar dengan tujuan membantu mengatasi masalah dan emosional. Dalam hal ini sang kakak melakukan hubungan terapeutik dengan cara komunikasi secara langsung.

Kemudian, sang kakak juga telah melakukan karakteristik dalam hubungan terapeutik yakni, ikhlas atau genuine, hal itu ditunjukkan ketika sang kakak secara ikhlas meluangkan waktunya untuk menemui dan mengobrol dengan adiknya. Yang kedua adalah adanya empati, merupakan perasaan untuk memahami apa yang dialami oleh seseorang yang mempunyai masalah dan mengalami fase emosional serta berusaha untuk bersikap jujur dan objektif sesuai dengan apa yang dialami oleh orangnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun