Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Bercerai Maka Hidup Usai?

8 Januari 2018   13:29 Diperbarui: 8 Januari 2018   13:36 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menemukan jodoh, menikah, membina bahtera rumah tangga, dan hidup bahagia sebagai keluarga utuh, kiranya menjadi harapan setiap insan. Pada hakikatnya tak seorang pun yang mengharapkan adanya batu sandungan atau musibah dalam perjalanan hidup. Namun kembali, manusia hidup di dunia sudah pasti akan berpapasan dengan ujian. Mau tidak mau, maka ia harus melewatinya (ujian) agar menjadikan dirinya lebih baik selayaknya murid yang lulus ujian dan naik kelas.

Begitupun ketika individu membina rumah tangga, seiring kehidupan berkeluarga berlangsung maka ujian demi ujian akan silih berganti berdatangan. Tak hanya hal besar menjadi ujian, melainkan hal kecil pun bisa menjadi bahan perdebatan dan bertransformasi menjadi hal besar seperti perceraian.

Berbicara mengenai perceraian, berdasarkan data statistik dari tahun 2009 s.d 2016 bahwasanya angka perceraian terus mengalami kenaikan per-tahunnya. Dari kebanyakan kasus perceraian suami-istri yang ditangani, sekitar 70% merupakan gugatan cerai dari pihak istri (perempuan). Bahkan di tahun 2013 lalu menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan angka perceraian di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Pasifik.

Gambaran ini tentu sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan khususnya bagi perkembangan anak, keluarga yang seharusnya menjadi pondasi utama dalam pendidikan anak tidak akan berfungsi semustinya. Perceraian antara suami-istri akan membuahkan ketimpangan dalam halnya peran sehingga kemungkinan besar menyebabkan stabilitas kejiwaan anak terganggu (rentan hingga benar-benar sakit kejiwaan) maupun menumbuhkan karakter anak yang pemberontak (bertindak kekerasan, melanggar hukum, dll). Tentu ini hal yang perlu menjadi perhatian bagian setiap insan yang telah menempuh hidup berumahtangga agar senantiasa menjaga keutuhan rumah tangganya demi masa depan buah hati (anak).

Kiranya banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya perceraian, umum penyebab perceraian dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Dari pihak suami yang tidak mampu menafkahi keluarga semustinya sampai kepada pihak istri yang memiliki pendapatan lebih tinggi ketimbang suami. Lalu menyusul penyebab lainnya, seperti kekerasan dalam rumah tangga, berbeda pandangan (prinsip), komunikasi yang tidak baik, perselingkuhan, pasangan kecanduan (obat-obatan terlarang, judi, miras), dan penyebab "kekinian" perceraian yaitu media sosial.

Mengacu pada hal diatas, lantas apakah dengan terjadinya perceraian maka hidup berarti usai?

Sebagaimana diketahui bahwa hampir sebagian besar orang mengatakan bahwasanya sulit menyatukan kembali sesuatu yang telah tercerai berai terlebih dua individu yang sudah kukuh untuk bercerai. Namun demikian, bagi pasangan modern yang telah memiliki anak lebih realistis memandang bahwa perkembangan anak merupakan prioritas. Mereka tetap bertugas mendidik anak secara bergantian walau disertai menatap kedepan hidup dengan pasangan baru agar (impian) realisasi kebahagiaan dapat tercapai.

Akan tetapi memutuskan membina rumah tangga kembali dengan pasangan baru bukanlah jaminan, membina rumah tangga dengan berbekal pengalaman (kegagalan rumah tangga sebelumnya) dan karakter pasangan yang dirasa lebih baik (dari pasangan sebelumnya) merupakan sebuah langkah yang menghantarkan kepada konsekuensi ketidakpastian. Berhasil ataukah gagal kembali?

Berkeluarga bukan hanya berarti bagaimana pasangan bersikap kepada diri anda, tetapi lebih kepada bagaimana anda bersikap kepada pasangan sehingga menghasilkan kesepahaman tujuan. Keluarga bukan lagi memikirkan ego pribadi, tetapi bagaimana masa depan bersama. Belajar dari pengalaman (interopeksi diri pribadi atau dari masing-masing istri-suami), lalu mengapa kedua belah pihak memungkinkan untuk kembali rujuk?

Secara agama dan hukum negara pun memungkinkan bagi pasangan suami istri yang bercerai untuk kembali rujuk dengan melangsungkan pernikahan kembali. Bahkan sebelum proses perceraian terjadi pun, negara hadir untuk memfasilitasi kedua belah pihak agar islah atau berdamai. Dengan demikian maka perceraian seharusnya dapat dihindari jika seandainya dari pihak suami maupun istri memiliki kemauan yang sama untuk mempertahankan bahtera kehidupan berumahtangga yang telah mereka jalani. Peran orang lain semisal keluarga saudara, kerabat, dan teman dapat ikut berperan serta guna memberikan masukan yang membangun agar rumah tangga bersangkutan tetap bertahan, bukan malah sebaliknya.

Oleh karena itu persepsi akan perceraian pada rumah tangga perlu ditegaskan bahwa bukanlah akhir dari segalanya. Perceraian layaknya pajangan kristal yang jatuh dan hancur berantakan, tetapi bukan berarti pajangan tersebut tak bisa diperbaiki maka dapat digantikan dengan pajangan lain yang baru. Melainkan anda sebagai pasangan suami-istri dapat membeli pajangan kristal yang sama dan seksama menjaganya agar tidak jatuh demi kebaikan keluarga dan anak guna mencapai kebahagiaan. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun