Mohon tunggu...
SanBha
SanBha Mohon Tunggu... Penulis - Non vestimentum virum ornat, sed vir vestimentum

HUMANIORA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

1928, dan 17 Tahun Setelah Itu...

25 Oktober 2020   11:35 Diperbarui: 25 Oktober 2020   11:44 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

" They who do not know history tend to repeat it" - Deborah Lisptadt

Salah satu karakter massa, menurut Hannah Arendt, seorang filsuf  yang pernah menulis tentang pengalaman negatif  dalam Rezim NAZI Jerman, adalah cepat lupa. Menurutnya massa cepat melupakan tanggungjawabnya.

Sebenarnya ada  ciri yang lebih tepat  jika kita mau mencirikan  karakter massa, yakni ketidakberpikiran. Heideggerlah  yang memperkenalkan ciri ini. Menurutnya massa tidak pelupa, melainkan tidak berpikir, dan di dalam ketidakberpikirannya itulah massa menciptakan prasangka.

Pengistilahan publik atas Revolusi 4.0 rasanya melebihi frekuensi apapun yang  dapat kita dengar belakangan ini. Begitupun dengan kesannya yang kuat, seolah mengarah ke  'pemujaan' pada hasil pencapaian tertentu dari kebudayaan manusia. 

Sebenarnya sederhana saja, hal itu menegaskan bahwa dalam perjalanannya, manusia  dan kehidupannya telah mencapai tingkat kebudayaan yang sangat maju. Meski harus diingat bahwa kemajuan itu adalah kemajuan sementara. Parameternya hari ini. Sehingga terminologi itu  merupakan suatu fase perubahan yang sejatinya tetap menjadi bagian, yang  mana bagian itu bukanlah puncak atau sebuah lintasan akhir. Apalagi jika bingkainya di anggap suatu pencapaian keagungan nilai-nilai yang telah paripurna. Tidak sama sekali.

Revolusi 4.0 bertolak dari momentum sejarah di 1.0 di Inggris ( 1750-1850 ),  yang kemudian secara sunatullah melakukan proses  keberlanjutan tingkat eskalasi  kemajuan. Kemajuan dalam banyak bidang kehidupan, ilmu dan teknologi, manufaktur ( tata cara produksi), transportasi, cara berkebudayaan, dan lain sebagainya.

Indikatornya antara lain cara hidup dan berkehidupan yang kian maju dan modern yang mengalami lompatan dari kondisi sebelumnya. Dan 'epicentrum' itu membawa pengaruh di dunia pada bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan.

Kebudayaan manusia yang telah dibangunnya itu telah berlangsung pada rentang waktu yang begitu panjang  di atas pentas sejarah.  Kaitan itulah yang mengakibatkan  bahwa baik sejarah maupun kebudayaan tidak bisa dipahami sekedar sebagai moment, melainkan sebagai proses.

Jurgen Habermas memandang sejarah  yang dialektis itu begini: Sang sekarang yang dari sudut pandang cakrawala  zaman baru  memahami dirinya sebagai  aktualitas dari zaman  yang paling  baru, harus menuntaskan pemutusan-hubungan  yang dibuatnya  dengan masa lampau, sebagai pembaharuan  yang berkelanjutan.

Dengan begitu  Habermas sebenarnya seperti  menyangkal kesinambungan  kebudayaan, karena sang sekarang itu  bukanlah sesuatu  yang berdiri sendiri,  melainkan lekat  dengan sejarah  yang berproses  sebagai dialektik. Berkaca pada hal itu, sebagai makhluk berbudaya tentu kita merefleksi, betapa segala kemajuan itu, seberapapun tingkat kehebatannya harus selalu dipertanyakan ikhwal  keberadaannya  serta hubungannya dengan  kemanusiaan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun