Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Haji Mabur

27 Oktober 2012   15:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:19 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Andaikan dianalogikakan sebagai sebuah bangunan rumah, agama Islam dibangun oleh lima struktur utama. Kelima struktur utama tersebut dikenal sebagai Rukun Islam, yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Syahadat adalah pondasi yang mendasari keseluruhan struktur rumah. Kedalaman dan kekokohan struktur pondasi sangat menentukan kekuatan keseluruhan struktur bangunan di atasnya. Di atas pondasi syahadat kemudian didirikanlah pilar soko guru Islam, yaitu sholat. Sholat adalah penegak agama, barangsiapa yang tegak sholatnya maka tegak pulalah agamanya. Sebaliknya orang yang lemah sholat, bahkan lalai atau meninggalkannya, maka ibarat telah roboh agamanya. Sholatpun berguna untuk mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar.

Rukun Islam selanjutnya adalah puasa. Puasa ibarat dinding rumah. Dinding berguna untuk membentengi rumah dari terpaan panas dan dingin akibat perubahan suhu udara di sekitarnya.  Puasa menjadi tameng atau perisai ummat Islam untuk menahan hawa nafsu. Puasa merupakan sarana untuk membawa manusia taqwa naik derajat yang lebih tinggi menjadi manusia bertaqwa. Rumah dengan dinding ataupun tembok yang mengelilinginya, tentu saja harus dilengkapi dengan sarana akses keluar masuk rumah. Rumah memerlukan pintu, ataupun jendela dan lubang-lubang ventilasi. Rumah yang dilengkapi dengan pintu, jendela dan lubang ventilasi akan menjadikan ruangan di dalam rumah mendapatkan kecukupan cahaya dari luar dan udara segar yang merupakan prasyarat rumah yang sehat.

Pondasi, pilar, dinding, dan pintu – jendela belum menjadikan sebuah rumah sempurna memenuhi fungsinya. Struktur penting yang tidak dapat ditinggalkan dan menjadi penyempurna sebuah bangunan rumah adalah atap rumah. Atap ibarat mahkota rumah. Atap berada di puncak bangunan. Atap menggambarkan kemegahan dan keanggunan bangunan rumah. Di dalam struktur bangunan Islam, atap dapat diibaratkan dengan ibadah haji. Ibadah haji, meskipun hanya diwajibkan kepada ummat Islam yang mampu, namun semua orang memahaminya sebagai penyempurna agam Islam. Belum dikatakan “sempurna” keislaman seseorang apabila belum menunaikan ibadah haji. Oleh karena itu badah haji senantiasa menjadi dambaan, bahkan cita-cita, bagi setiap insan muslim.

Haji ditempatkan sebagai pamungkasnya rukun Islam karena memiliki beberapa perbedaan mendasar dibandingkan rukun Islam-rukun Islam sebelumnya. Shahadat, sholat, dan puasa adalah ibadah personal yang bisa dibilang hanya membutuhkan itikad, niat, dan kesehatan atau keprimaan tubuh. Dalam mengucapkan dua kalimat syahadat, kita hanya perlu menanamkan keyakinan dalam snubari terdalam serta mengikrarkan “Ashadu Allah illaha illallah, wa ashadu anna muhammadarasullah.” Sebuah kesaksia bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.

Sholat memang diutamakan sesuai dengan ketentuan gerak dan kaifiatnya, kecuali dalam hal ada halangan. Gerakan sholat yang sempurna tentu saja membutuhkan kondisi tubuh yang sehat dan kuat. Demikian halnya ibadah puasa yang secara fisik mengharuskan kita menahan lapar dan dahaga dari waktu fajar hingga matahari terbenam juga idealnya dilaksanakan dalam keadaan tubuh yang prima. Sholat dan puasa sama-sama merupakan amalan ibadah yang  membutuhkan kondisi tubuh prima dan sehat. Ukuran kemampuan seseorang dalam menjalankan sholat dan puasa lebih didasarkan kepada kemampuan tubuh untuk menjalankannya.

Adapun kewajiban zakat, memang tidak memerlukan kekuatan ataupun daya tahan tubuh. Zakat lebih mempersyaratkan kecukupan harta benda. Untuk zakat fitrah wajib dibayarkan atas setiap jiwa atau nyawa seorang muslim pada saat mengakhiri ibadah puasa Ramadhan. Sedangkan untuk zakat mal harus dibayarkan untuk setiap harta benda yang dimiliki seorang muslim apabila telah mencapai nisabnya. Amalan zakat seringkali dilengkapi dengan pengeluaran harta benda sebagai amal yang dapat berupa infaq, shadakoh ataupun amal jariyah yang lain. Prasyarat ukuran kemampuan seseorang untuk berzakat ditentukan dari kemampuan atau kecukupan harta benda yang dimiliki seseorang.

Ibadah haji lebih istimewa dibandingkan ibadah Rukun Islam yang lainnya. Haji memang hanya diwajibkan sekali seumur hidup, itupun hanya bagi yang mampu. Kemampuan berhaji dilihat dari sudut pandang harta benda untuk pembiayaan perjalanan ibadah haji ke tanah suci dan untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang ditinggal, juga termasuk kemampuan fisik yang bersangkutan. Dengan demikian haji mempersyaratkan modal raga dan harta benda.

Ibadah haji dilaksanakan di tanah suci yang jauh dari tanah air. Rangkaian perjalanan ibadah haji membutuhkan waktu berhari-hari, bahkan hingga hitungan hampir dua bulan. Di jaman dahulu pada saat sarana transportasi belum maju, perjalanan ibadah haji bisa memakan waktu hingga lebih dari setengah tahun. Bentangan jarak dan waktu yang panjang tentu saja menjadikan ibadah haji memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sarana transportasi, akomodasi penginapan, hingga konsumsi merupakan sebagian variabel biaya haji yang tidak murah. Maka tidaklah mengherankan jika ibadah haji benar-benar hanya mampu dilakukan oleh ummat muslim yang benar-benar berkecukupan harta.

Karena haji adalah mahkota dari bangunan agama Islam, maka seseorang yang telah menuntaskan ibadah haji dengan sempurna dapat dikatakan telah sempurna pulalah agama keislamannya. Layaklah Allah menyandangkan gelar kepadanya sebagai haji yang mabrur. Mabrur memiliki akar kata biir, yang berarti sebuah kebaikan yang telah teruji dengan sempurna. Kenapa tidak digunakan istilah khoir ataupun ma’ruf yang juga berarti baik ataupun terbaik?

Jika menelusur struktur bangunan Islam, mulai dari pondasi, pilar, dinding, pintu – jendela, hingga atap yang analog dengan syahadat, sholat, puasa, zakat dan ibdah haji, maka gelar mabrur menunjukkan kesempurnaan keislaman. Allah sengaja mengistilahkan kesempurnaan seorang haji dengan mabrur untuk menggambarkan haji sebagai simbol mahkota banguan keislaman seseorang. Dari uraian itupun dapat disimpulkan bahwa kemabruran seseorang yang telah menuntaskan ibadah haji harus dilandasi dan didukung oleh amalan ibadah yang lain, ya syadahat yang baik dan benar, ya sholat yang baik dan benar, ya puasa serta zakat yang baik dan benar.

Jikalaupun ada seorang muslim kaya raya yang berhaji tanpa dilandasi kebaikan amalan ibadah yang lain, atau bahkan hanya berhaji demi status ataupun rasa gengsi dan bukan karena landasan ketaatan dan keikhlasan atas panggilan Allah, bisa jadi ia hanya sekedar “membeli” atap untuk membangun “citra” keislamannya. Apakah mungkin membangun atap tanpa terlebih dahulu membangun pondasi, pilar, dinding, pintu – jendela? Apakah yang dibangun bukannya hanya sekedar “tangkepan wuwungan” atau puncak atap? Bukankah lebih tepat jika dia hanya sekedar membangun tenda semata? Emangnya haji sama dengan camping?

Demikian halnya seseorang yang telah tuntas menjalankan ibadah haji yang dilandasi kesempurnaan keempat  Rukun Islam yang lain, belum tentu juga langsung mendapatkan gelar “kemabruran”. Indikasi kemabruran paling tidak secara kasat mata dapat ditinjau dari tiga hal, pra ibadah haji, saat menjalankan ritual haji, dan pasca ibadah haji. Sebelum ibadah haji dilaksanakan, alangkah bagusnya jika amalan Rukun Islam yang lain juga dibaguskan. Demikian halnya biaya pelaksanaan ibadah haji juga harus dipastikan berasal dari rizki yang halal dan thayyib. Pada saat melaksanakan ibadah haji, disamping menjalankan segala tuntunan ritual sesuai dengan syarat dan khaifiyat yang benar, juga harus dilandasi ketulusan niat dan keikhlasan semata-mata mencari ridla Allah SWT. Apabila dua prasyarat pra dan pada saat pelaksanaan ibadah haji bisa terpenuhi dengan sempurna, maka ibadah haji pasti akan menghantarkan seseorang menjadi insan muslim yang lebih baik dengan gelar haji “mabrur”.


Lebih jauh lagi, sepulang kembali ke lingkungannya masing-masing, haji “mambrur” pasti akan mampu memberikan pengaruh dan suasana positif bagi semua kerabat, masyarakat, dan semua orang, bahkan bangsa dan negara. Jika setiap tahun Indonesia mengirimkan tidak kurang dari dua ratus ribu jamaah hajinya dan semuanya mendapatkan gelar “mabrur” tentu ke depan tidak akan ada lagi lingkungan korup, tidak ada lagi penyuapan, kolusi, nepotisme, pelanggaran HAM, penindasan, penggusuran, kebohongan, kemaksiatan dan segala bentuk perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah. Akan tetapi jika setiap tahun negeri ini “memproduksi” ratusan ribu haji, namun kemaksiatan dan kedzaliman kian merajalela, kita patut mempertanyakan kembali status “kemabruran” para haji kita! Bisa jadi haji yang kita miliki memang bukan haji yang mabrur, namun hanya sekedar haji “mabur” karena memang mereka mabur alias terbang pada saat pulang-pergi ke tanah suci.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun