Oleh:
Hikmatullah*
Hari kebangkitan Nasional atau yang biasa disebut Harkitnas menjadi pertanda bahwa semangat persatuan dan kesatuan bangsa masih terus di gelorakan dalam pribadi rakyat Indonesia. Hari yang diperingati sebagai kelahiran Boedi Oetomo ini menjadi menjadi tonggak perjuangan yang mampu mendorong bangsa Indonesia untuk lepas dari cengkraman kolonialisme Belanda dan menjadi bangsa yang merdeka.
Setelah lebih dari satu abad, momentum hari kebangkitan nasional ini masih saja terus diperingati. Salah satu tujuannya adalah untuk mengingat dan menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk mendirikan bangsa Indonesia.
Kini setelah 72 tahun merdeka, setelah ribuan pahlawan menyuguhkan darah dan keringat tertumpah demi tanah air tercinta, setelah ribuan pahlawan dengan desingan peluru dan hulu pedang mengkilap menyisihkan sebagian dari dirinya untuk berjuang membela dan mempertahankan harkat dan martabat bangsa, banyak generasi yang lupa dan sok jadi yang paling nasionalis. Masihkah perlu menghargai jasa para pahlawan? (silahkan di jawab dalam hati masing-masing)
Memang perlu di akui, bahwa perjalanan panjang kemerdakaan bangsa belum sepenuhnya tercapai, cita-cita kemerdakaan yang menjadi landasan berjuang kini semakin pudar, dikebiri oleh generasi-generasi yang menghamba pada kekuasaan dan berselingkuh dengan kepentingan pengusaha koorporat baik yang berada di dalam negeri maupun yang di luar negeri.
Bagaimana tidak, kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan maupun ekonomi sudah banyak di pelintir demi kepentingan golongan sepihak, dan prosesnya pun diatur dalam prosedur hukum yang jauh dari kata keadilan.
Di sektor pendidikan misalnya, kenyataan saat ini dimana pendidikan dijadikan sebagai sektor bisnis jasa berimbas pada makin melonjaknya biaya pendidikan. Pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara, namun diletakkan dalam mekanisme bisnis sehingga setiap institusi pendidikan yang bersaing dalam memberikan pelayanan yang berkualitas berbanding lurus dengan meningkatnya biaya pembayaran pendidikan tersebut. Hal ini menyebabkan peserta didik yang kemampuan ekonomi menengah kebawah tidak dapat mengakses pendidikan seperti yang lainnya. Padahal mayoritas masyarakat negeri ini adalah masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah. Artinya sebagian besar masyarakat Indonesia telah dirampas haknya untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Selain itu, Privatisasi dalam lembaga pendidikan tersebut terlihat dalam pasal 53 (1) UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.[1] Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa melalui badan hukum pendidikan, lembaga pendidikan dibebaskan (otonomi sendiri) dalam hal mengatur dan mengelola kegiatan pendidikan, penyelenggaraan biaya pendidikan, juga termasuk mencari modal untuk di investasikan dalam operasional pendidikan. Ini merupakan pasal yang cacat, dimana tanggung jawab negara dalam memberikan pelayanan pendidikan yang merata untuk rakyatnya?
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal seharusnya keterbatasan dana tidak menjadi alasan bagi mereka untuk cuci tangan.