Mohon tunggu...
Sang Fajar
Sang Fajar Mohon Tunggu... Editor - Pekerja Sosial

Relawan Bencana Sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Simpang Lima dan Kota Tua Semarang

25 Januari 2021   13:48 Diperbarui: 25 Januari 2021   14:05 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah dua hari ini saya berada di Semarang untuk urusan pekerjaan. Travel yang saya tumpangi mulai memasuki kota ini saat hari mulai senja. Dari sisa-sisa cahaya matahari saya masih sempat melihat keasrian kota ini. Jalanan lebar, mulus dengan pohon-pohon rindang di kanan-kiri. Semarang sebagian besar adalah wilayah perbukitan, kontur jalannya naik-turun. Kota ini bersih, hijau dan asri. Jadi syahdu di tengah gerimis sore itu.

Gerimis mendadak berubah menjadi hujan deras. Beruntung saya sudah sampai di rumah kost di daerah Pleburan. Rencananya saya akan tinggal di kota ini selama seminggu sampai dua minggu. Menyewa kamar kost sebulan jadi lebih hemat dibanding menginap di hotel.

Meski hanya mengandalkan pencarian dari aplikasi tanpa pengecekan langsung, saya beruntung mendapatkan penginapan yang 'oke punya.' Rumah sederhana dua lantai dengan 5 kamar dengan ruang tengah luas dan lega. Lebih lega dan nyaman lagi karena tempat ini hanya saya sendiri yang menghuni.

Ibu penjaga rumah bercerita, dulu Pleburan sangat ramai oleh para penghuni kost yang kebanyakan adalah mahasiswa Universitas Diponegoro. Semenjak pandemi virus corona, pihak kampus menetapkan proses belajar mengajar secara daring. Mahasiswa bisa belajar di rumah tanpa harus ke kampus. Semua mahasiswa pulang ke rumah kampungnya masing-masing, hunian kost menjadi kosong. Dampaknya warung makan, toko kelontong, laundry dan usaha lainnya juga tutup karena tidak ada pelanggan. Sejak saat itu Pleburan jadi sepi bak tak bertuan.

Sebenarnya Pleburan adalah daerah yang sangat menarik karena lokasinya strategis di jantung kota Semarang. Hanya 10 menit dari Simpang Lima dengan berkendara motor. Tapi pagi pertama saya memilih pesan taksi online karena hujan lebat belum juga reda. Sambil menunggu taksi datang, saya berdiri di teras mengamati lingkungan sekitar. Kesan saya pada tempat ini sama seperti kesan saya pada kota Semarang. Rapih, bersih dan asri.

Di Pleburan meskipun rumah-rumahnya berada di lahan yang sempit, tetapi hampir semua memiliki taman yang membuat suasana lingkungan ini menjadi nyaman. Tong sampah ada di depan setiap rumah. Mungkin itu yang membuat tidak ada sampah sepanjang mata memandang. Dan mungkin ini juga yang membuat hujan deras tidak meninggalkan genangan. Selokan kecil sepanjang pinggiran gang mengalir lancar. Sulit dipercaya ini bisa ditemukan di sebuah wilayah padat di sebuah kota besar.

Dalam perjalanan menuju Simpang Lima tidak jauh dari kost saya, memang ada genangan, tetapi masih dalam batasan wajar karena masih di bawah mata kaki. Saya tergelitik ingin tahu mengapa Semarang yang dulu terkenal langganan banjir bisa begitu berubah. Dengan penduduk yang padat dan wilayahnya dekat laut, kenormalan seperti ini, bagi saya jadi luar biasa.

Saya mencoba mencari tahu dari supir taksi yang saya tumpangi. Hanya dari pertanyaan sederhana, 'Pak Semarang masih sering banjir?' Pak supir menegaskan kalau Semarang sudah tidak banjir beberapa tahun belakangan, tepatnya setelah Ganjar Pranowo menjadi Gubenur Jawa Tengah dan Hendrar Prihadi jadi Walikota Semarang. Katanya, di bawah kepemimpinan mereka, pengerukan sungai jadi rutin dilakukan. Kota Semarang seperti ditata ulang.

Pada Ulin, keponakan teman yang siang itu mengantar saya makan ke Randusari, saya juga ajukan pertanyaan yang sama. Inti jawaban juga kurang lebih sama. Keberhasilan pembangunan kota Semarang, termasuk dalam mengatasi banjir adalah buah sinergi antara Pemkot Semarang, Pemprov Jateng dan pemerintah pusat. "Lho kok gubenur sampai presiden. Ini kan cuma pembangunan kota Semarang saja," canda saya. "Tapi tidak bisa jalan juga (pembangunannya) kalau cuma mengandalkan anggaran pemkot. Butuh dukungan dari jenjang pemerintahan yang lebih tinggi. Bukan cuma dukungan dana tapi juga kebijakan. Itu perlunya sinergi," jelasnya dengan sangat meyakinkan. Dia bercerita pengalamannya saat ikut terlibat pembangunan proyek pembuatan jalan di sebuah kabupaten di luar Jawa. Proyek batal karena tidak mendapat dukungan pemerintah provinsi. Padahal masyarakat saat itu sangat membutuhkan.

Malam harinya saya diajak keliling kota dengan motor tua kesayangannya. Banyak sekali perubahan dibanding belasan tahun silam, saat terakhir saya berkunjung ke kota lumpia ini. Semarang giat mematut diri sebagai ibu kota provinsi. Makin bersih, teratur dan yang pasti makin banyak taman, itu yang paling saya suka. Tapi ternyata itu belum seberapa. Sungguh kaget saya melihat perubahan kawasan Kota Tua. Daerah ini dulu sangat merana. Bangunan-bangunan kuno peninggalan jaman Belanda, rusak tidak terawat. Sebagian bangunan bahkan mulai terendam genangan air. Kini tempat itu jadi objek wisata. Suasana tempoe doeloe dihidupkan lagi. Masyarakat bisa berjalan-jalan di bawah temaramnya lampu kuno di sepanjang kota. Bangunan-bangunan tua dimanfaatkan untuk cafe, toko souvenir dan tempat hiburan. Sayangnya kami tidak bisa menikmati kopi di sana. Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM), mengharuskan aktivitas cafe tutup lebih awal jauh sebelum larut malam.

Melintasi Simpang Lima, saya menebar harap. Semoga seluruh warga kota ini bisa melalui cobaan pandemi ini. Semoga juga semua masyarakat seluruh penjuru negera ini bisa memiliki kebanggaan pada pemimpin daerah mereka seperti Ulin dan bapak supir tadi.****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun