Kesedihan melanda umat muslim di dunia ketika wabah coronavirus tak kunjung hilang meski Ramadhan datang. Ramadhan seakan hampa atas munculnya maklumat mematuhi protokol kesehatan. Kumandang azan berganti. Panggilannya pada tahun lalu adalah seruan menjalani sholat di rumah masing-masing.
Melaksanakan ibadah bersama-sama merupakan salah satu kemeriahan bulan Ramadhan. Hilangnya kebersamaan ini sontak membuat pemeluknya kebingungan. Kaum muslimin mengekspresikan kesedihan mereka dengan doa-doa yang dipanjatkan hanya bersama keluarga di rumah. Dalam satu tayangan media sosial, seorang muadzin di belahan timur tengah tersedu-sedu mengumandangkan waktu sholat telah tiba dengan modifikasi "sholatlah di rumah".
Kesedihan itu wajar selaku manusia. Namun kekhawatiran atas munculnya virus asal Wuhan tersebut juga hal yang manusiawi. Hampir seluruh kaum muslimin mematuhi protokol tersebut. Bahkan, yang pulang ke kampung untuk menjalani ibadah Ramadhan dengan keluarga rela mengasingkan diri ke hutan beberapa pekan lamanya, sebelum kembali kepada keluarga masing-masing.
Ada 2 (dua) bentuk kepatuhan saat kaum muslimin menjalani ibadah Ramadhan di awal pandemi. Pertama, kepatuhan untuk tetap menjalankan sholat walau hati sesak. Kedua, kepatuhan atas instruksi pemerintah menerapkan protokol kesehatan.
Penerapan protokol kesehatan bagian dari menjaga diri dan keluarga dari bahaya kematian. Penerapan ini juga penting bagi lingkungan tempat mereka tinggal dan bekerja. Kalaupun mereka terpaksa keluar rumah, hal itu kondisional dan benar-benar terpaksa. Kita sama-sama tahu bahwa beberapa dari mereka tidak memiliki simpanan cukup untuk bertahan di rumah beberapa pekan.
Sebenarnya, Ramadhan di tengah pandemi ini merupakan contoh dualisme yang dijalankan penganut agama Islam di seluruh dunia. Seiring berjalannya waktu berbagai macam aturan mulai dilonggarkan. Seluruh negara termasuk Indonesia mulai mencanangkan Adaptasi Hidup Baru.
Masuknya era inilah yang membuka peluang masuknya asumsi liar terkait pandemi Covid-19. Segala macam informasi, mulai dari teori konspirasi hingga berita burung di instalasi kesehatan berseliweran. Kabar-kabar itu ditangkap oleh masing-masing pikiran orang yang memiliki paradigma tertentu tanpa kajian sains resmi. Jadilah apa yang disebut - jika boleh saya sebut - dengan ketidakpercayaan sosial.
Kita bisa saksikan bagaimana protokol kesehatan dilanggar sedemikian rupa. Mulai dari rakyat jelata, tokoh masyarakat, selebriti, hingga politikus. Tampaknya kita tidak lagi sepakat bagaimana menjalani adaptasi hidup baru, karena masing-masing kita punya perspektif hidup dengan cara sendiri, dengan sumber daya masing-masing.
Ramadhan tahun ini sejatinya bukan saja menjadi kegembiraan tersendiri bagi penyintas Covid-19, khususnya kaum muslimin. Seharusnya pula menjadi tolak ukur bagi umat Islam kembali ber-muhasabah melewati pandemi ini dengan kepedulian yang sama seperti sebelumnya.
Kemudahan pelaksanaan ibadah tahun ini sepatutnya disyukuri, dalam artian tidak menghilangkan semangat kepatuhan seperti tahun sebelumnya. Meski dalam catatan pemerintah bahwa kasus positif Covid-19 mulai melanda, umat Islam tetap siap-siaga atas instruksi lanjutan menjalani ibadah di masa adaptasi hidup baru.Â
Jamaah akan selalu mengikuti arahan tokoh mereka, karena mereka lah pegangan menjalani kondisi yang pelik ini. Diharapkan ajakan para tokoh memiliki basis pengetahuan agama dan sains yang tepat agar umat tidak salah langkah menuju kepada bencana yang berkepanjangan.