Mohon tunggu...
Sandy Maulana
Sandy Maulana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sengal Napas Sawahlunto Mengejar Gelar "World Heritage"

17 Juli 2018   21:19 Diperbarui: 17 Juli 2018   21:20 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Teng-teng! Sudah pukul 6 pagi. Lonceng gereja di Sawahlunto berdentang keras, membangunkan bapak-bapak yang masih terlelap dengan sarungnya, mengingatkan ibu-ibu untuk segera ke pasar, juga anak-anak sekolah untuk cepat-cepat meringkasi tas mereka. Selayaknya hari-hari biasa di kota yang dahulunya pernah jaya akibat tambang, Sawahlunto menggeliat pelan-pelan setelah dikejutkan perubahan zaman yang mendadak.

Kiplik adalah salah satu dari mereka yang terseret derasnya arus waktu. Oleh denting detik yang terus berbunyi. ia dipaksa terbiasa melihat Sawahlunto tanpa hiruk-pikuk pertambangannya Sesuatu yang sebenarnya aneh karena sejatinya batu bara telah mengakar sedemikian rupa menjadi identitas Sawahlunto.

Cerita panjang simbiosis Sawahlunto dan batu bara dimulai oleh De Greeve, geolog Belanda yang dalam eksplorasinya di tahun 1870 memperkirakan terdapat sekitar dua ratus juta ton cadangan batu bara berkualitas super di bawah tanah Sawahlunto. Perlahan, tanah sepi yang dahulunya tanpa penduduk ini mulai didatangi ribuan buruh, pekerja non tambang, serta orang-orang Belanda. Mereka yang berkepentingan mengubah Sawahlunto menjadi kota kecil nan padat dengan industri tambang batu bara sebagai nukleus perkembangannya.

Menjelang tahun 1990-an, jalinan manis kisah Sawahlunto dan batu bara pupus. Sebabnya, harga batu bara di pasar dunia jatuh. Biaya operasional tambang tidak lagi seimbang dengan pemasukan dari penjualan batu bara. Maka, gegerlah Sawahlunto. Kiplik yang menggantungkan hidup keluarganya dari batu bara, juga kawan-kawan lainnya yang sehari-hari berprofesi sebagai penambang, semuanya menjadi limbung. Sawahlunto benar-benar di ujung tanduk!

Di tengah masa transisi yang pelik, visi Amran Nur, mantan walikota Sawahlunto, untuk mengubah Sawahlunto menjadi kota wisata tambang yang berbudaya seakan menjadi angin segar. Pelan-pelan, objek-objek wisata bernapaskan tambang dikembangkan di Sawahlunto. Ada lubang Mbah Suro, museum kereta api, museum goedang ransoem, dan kawasan kota tua Sawahlunto itu sendiri.

Hanya saja ada masalah. Setelah masuk tentative list world heritage UNESCO, Sistem Tambang Batu Bara Ombilin-Sawahlunto malah memiliki problema internalnya sendiri. Perspektif pemerintah saat ini yang seakan memaknai tentative list World Heritage hanya dari sisi pariwisata membuat semuanya semakin runyam.  

Memang benar apabila Sawahlunto telah resmi ditetapkan menjadi world heritage maka kemungkinan besar kota ini akan kedatangan banyak wisatawan. Namun, seyogyanya itu hanya dimaknai sebagai bonus. Titel world heritage berbicara soal komitmen menjaga penuh kelestarian objek yang dianggap memiliki outstanding universal values bagi dunia.

Warisan Budaya Tambang Batu Bara Ombilin-Sawahlunto (WBTBOS) adalah bukti luar biasa dan mewakili pelopor perencanaan penambangan batu bara oleh Eropa di wilayah Hindia-Belanda. Teknologi pertambangan batu bara yang menggabungkan teknik tambang batu bara Eropa dengan pengetahuan kearifan lingkungan dan praktik tradisional masyarakat setempat.

Dibangun untuk eksploitasi deposit batu bara Ombilin yang melimpah, berlokasi di Sumatera Barat bagian tengah yang sulit dijangkau, WBTBOS terdiri dari 12 bagian komponen di tiga area yang memiliki fungsi saling terkait, yaitu: Tambang terbuka dan jaringan tambang dalam disokong dengan fasilitas pengolahan batu bara dan berbagai fasilitas kota tambang yang lengkap di Sawahlunto; Pembangunan jaringan kereta api dengan teknik tingkat tinggi yang terdiri dari rel gigi, jembatan dan terowongan, yang menghubungkan lokasi tambang hingga pelabuhan, membentang sepanjang 155 kilometer di medan pegunungan yang sulit; Pembangunan pelabuhan besar Emmahaven di pantai Samudera Hindia, tempat batu bara dimuat untuk dikapalkan

Ruang lingkup world heritage "Sistem Tambang Batu Bara Ombilin-Sawahlunto" yang terlampau luas dan melingkupi banyak kabupaten juga membawa masalah sendiri. Pertanyaan selanjutnya menyeruak, sanggupkah stakeholder Kota Sawahlunto, Kab. Tanah Datar, Kab. Solok, Kab. Padang Pariaman, Kota Padang Panjang, dan Kota Padang saling bekerja sama?

Persoalan yang sejujurnya pelik. Kiplik yang kini bekerja sebagai pemandu wisata di Lubang Mbah Soero hanya tersenyum ketika membicarakan semua hal tadi kepada saya. Dengan lirih dia menyimpan harap. Kelak di masa depan, dengan ditetapkannya Sistem Tambang Batu Bara Ombilin-Sawahlunto sebagai world heritage, Sawahlunto akan kembali ramai walau kali ini dengan lalu-lalang wisatawan. Demi menyambung napas kota yang hampir putus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun