Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.www.klinikdrwidodo.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sinusitis dan Polip Bukan Karena Dingin, Debu, atau Polusi Tapi Alergi Makanan

17 April 2025   12:01 Diperbarui: 17 April 2025   12:13 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi editing pribadi

Sinusitis kronis polipoid (CPS) dan polip hidung sering dianggap terkait dengan faktor-faktor lingkungan seperti debu, dingin, dan polusi. Namun, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa penyebab utama gangguan ini lebih mungkin terkait dengan alergi makanan yang tidak terdiagnosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran alergi makanan, dalam perkembangan CPS dan polip hidung. Melalui analisis berbagai studi dan temuan klinis, ditemukan bahwa alergi makanan dapat memicu atau memperburuk kondisi ini, meskipun sering kali tidak dikenali sebagai faktor utama oleh pasien maupun tenaga medis. Temuan ini diharapkan dapat membuka wawasan baru dalam pengelolaan CPS dan polip hidung dengan pendekatan yang lebih tepat, yakni melalui deteksi dan pengelolaan alergi makanan.

Rafanandar, 35  Tahun mengalami gejala pilek kronis setiap pagi dan malam selama lebih dari tiga bulan.  Bukan itu saja dokter THT yang dikunjunginya juga menyatakan dia mengalami polip hidung, sinusitis dan  infeksi telinga. Berbagai dokter spesialis telah dikunjungi, berbagai pengobatan intensif sudah dilakukan, tetapi tidak membuahkan hasil. Hampir semua dokter menyimpulkan bahwa ditinya mengalami  alergi debu dan alergi dingin, tapi meskipun rumah sudah dibersihkan secara optimal dan tidak pernah memakai AC lagi keluhan tidak kunjung membak . Setelah melakukan second opinion ke dokter tertentu, dilakukan eliminasi makanan tertentu, gejala membaik secara signifikan. Kasus ini menyoroti perlunya evaluasi lebih lanjut terhadap kemungkinan alergi makanan.

Sinusitis kronis polipoid (CPS) dan polip hidung merupakan kondisi yang sering dihadapi oleh banyak individu dengan gangguan pernapasan. Selama bertahun-tahun, faktor lingkungan seperti debu, polusi udara, dan suhu dingin sering dianggap sebagai penyebab utama atau pemicu gejala sinusitis dan polip hidung. Gejala-gejala seperti hidung tersumbat, bersin, dan rasa tidak nyaman pada saluran pernapasan sering dikaitkan dengan paparan terhadap faktor-faktor tersebut, yang kemudian menyebabkan penanganan yang lebih berfokus pada penghindaran lingkungan tersebut. Namun, meskipun penghindaran faktor lingkungan ini dilakukan, banyak pasien yang tidak merasakan perbaikan signifikan pada kondisi mereka.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi perkembangan sinusitis kronis polipoid dan polip hidung lebih berkaitan dengan alergi makanan yang sering kali tidak terdeteksi. Alergi terhadap makanan seperti susu sapi atau gandum dapat memicu peradangan di saluran napas atas, memperburuk gejala, atau bahkan menyebabkan kambuhnya kondisi ini. Oleh karena itu, penting untuk menggali lebih dalam peran alergi makanan dalam patogenesis penyakit ini, serta mempertimbangkan pengobatan yang lebih holistik dengan melibatkan deteksi alergi makanan sebagai bagian dari pendekatan pengelolaan yang lebih komprehensif.

Bukan Alergi Debu, alergi dingin atau Polusi

Selama bertahun-tahun, dingin, debu dan polusi telah dianggap sebagai salah satu penyebab utama alergi hisung, baik oleh masyarakat maupun profesional medis. Namun, berdasarkan analisis terhadap pola gejala dan respons pengobatan, banyak kasus alergi yang tidak menunjukkan perbaikan meskipun debu terpapar dalam jumlah besar. Sebaliknya, gejala seringkali memburuk pada pagi dan malam hari, saat paparan debu relatif rendah. Ini menunjukkan bahwa debu bukanlah penyebab utama alergi, dan lebih banyak bukti mengarah pada kemungkinan bahwa alergi makanan yang tidak terdiagnosis mungkin berperan lebih besar dalam kondisi ini.

Fenomena menarik lainnya muncul ketika pasien alergi merasa lebih baik saat berada di iklim dingin, seperti di Eropa. Banyak pasien yang menghabiskan waktu dua minggu di sana melaporkan tidak pernah mengalami bersin atau pilek, yang biasanya terjadi pada mereka di negara asalnya. Jika suhu dingin benar-benar menjadi pemicu utama alergi, gejala seharusnya memburuk di lingkungan yang lebih dingin. Kenyataannya, gejala justru mereda. Hal ini menunjukkan bahwa faktor suhu, termasuk udara dingin, tidak berperan sebagai pemicu utama, dan kemungkinan besar faktor pemicunya lebih terkait dengan makanan yang tidak terdeteksi.

Lebih jauh lagi, meskipun debu dan polusi sering dianggap sebagai penyebab alergi, studi menunjukkan bahwa gejala alergi cenderung memburuk pada waktu-waktu tertentu, seperti pagi dan malam hari, ketika tingkat polusi lebih rendah. Ini mengindikasikan bahwa polusi bukanlah faktor utama yang memicu gejala, melainkan faktor-faktor lain seperti alergi terhadap makanan atau sensitivitas terhadap alergen non-makanan. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk memahami dengan lebih baik peran makanan atau alergen sistemik lainnya dalam patogenesis alergi, terutama yang berkaitan dengan gejala yang muncul pada waktu-waktu tertentu.

Sinusitis, Polip dan Alergi Makanan

Sinusitis kronis dengan polip hidung (CPS) merupakan kondisi inflamasi yang dapat memengaruhi kualitas hidup pasien secara signifikan. Sebuah studi yang diterbitkan dalam American Journal of Rhinology & Allergy (2011) menyelidiki hubungan antara alergi makanan, terutama susu sapi dan gandum, dengan CPS. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa 14% pasien CPS menunjukkan alergi terhadap susu sapi yang sebelumnya tidak terdiagnosis, sedangkan alergi terhadap gandum tidak menunjukkan perbedaan signifikan antara pasien dan kelompok kontrol. Temuan ini mengindikasikan bahwa alergi terhadap susu sapi mungkin berperan sebagai faktor pemicu atau memperburuk kondisi CPS, meskipun angka kejadian alergi makanan lebih rendah dibandingkan dengan studi dari negara lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun