Mohon tunggu...
Sanaha Purba
Sanaha Purba Mohon Tunggu... Penulis

Selamat datang di kolom Yohanes Sanaha Purba, ruang inspirasi bagi para pencari ilmu dan pemikir kritis. Saya adalah seorang penulis, pendidik, dan pencinta filsafat yang berkomitmen menghadirkan wawasan bernas dalam dunia filsafat, bahasa, dan edukasi. Kunjungi juga youtube saya, https://www.youtube.com/@Sanahapurba Untuk ngobrol serius, silahkan email saya di sanaha.purba@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

JEREMY BENTHAM | Pionir Filsafat Utilitarianisme yang Mengubah Cara Kita Melihat Moralitas

5 Oktober 2025   05:00 Diperbarui: 22 September 2025   21:21 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.



Di penghujung abad ke-18, dunia sedang mencari pijakan baru tentang bagaimana seharusnya manusia bisa hidup bersama dengan adil dan bermakna. Di tengah kegelisahan para pemikir untuk mencari jawabannya, muncul seorang Jeremy Bentham dengan gagasannya  yang mengguncang wacana etika dan politik masa itu. Ia memperkenalkan satu prinsip sederhana tetapi revolusioner, yaitu "kebaikan terbesar bagi jumlah terbesar". Ide Bentham itulah yang kemudian dikenal sebagai awal aliran utilitarianisme dan menjadi salah satu fondasi penting dalam filsafat moral modern.

Bentham lahir di London pada 1748 dari keluarga yang 'berada'. Awalnya dia diarahkan orang tuanya untuk meniti karier di bidang hukum. Untuk itu, dia menempuh pendidikan di Oxford. Namun, dalam perkembangan intelektualnya, dia justru lebih berminat pada filsafat dan ilmu sosial. Sejak muda, dia sudah resah melihat hukum yang berlaku di Inggris. Baginya, hukum menjadi sesuatu yang rumit, menindas dan sering kali tidak berpihak pada masyarakat luas. Kegelisahannya itu mendorong dia untuk merumuskan cara pandang baru yang lebih sederhana, rasional dan berorientasi pada 'kebahagiaan' manusia.

Utilitarianisme, menurut Bentham, adalah pandangan bahwa baik-buruknya suatu tindakan ditentukan oleh sejauh mana tindakan itu membawa kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Bagi Bentham, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang abstrak, melainkan dapat diukur. Ia bahkan merancang hedonic calculus atau "kalkulus kebahagiaan," sebuah metode untuk menimbang keuntungan dan kerugian dari setiap tindakan. Dengan pendekatannya itu, moralitas tidak lagi semata-mata ada di wilayah dogmatis, melainkan menjadi sesuatu yang bisa ditimbang secara rasional.

Menariknya, Bentham bukanlah model pemikir yang tinggal di menara gading. Ia terjun langsung dalam wacana reformasi hukum dan sosial. Ia mengkritik sistem peradilan pidana yang menurutnya lebih mementingkan balas dendam ketimbang pencegahan dan rehabilitasi. Ia menawarkan rancangan penjara yang dikenal dengan sebutan panopticon, di mana para narapidana selalu merasa diawasi dan dengan demikian terdorong untuk menjaga perilaku. Gagasan ini, meskipun kontroversial, menunjukkan betapa seriusnya Bentham memikirkan cara agar hukum tidak hanya menakut-nakuti, tetapi juga memperbaiki manusia.

Tentu saja, teori utilitarianisme tidak luput dari kritik. Banyak yang menilai pendekatan Bentham terlalu menekankan pada hasil akhir tanpa memperhatikan prosesnya. Bagaimana jika demi kebahagiaan banyak orang, hak-hak minoritas harus dikorbankan? Bukankah itu juga bentuk ketidakadilan? Bentham mengakui kelemahan dari prinsipnya. Oleh karena itu, dia menyarankan agar utilitarianisme dipahami sebagai panduan umum, bukan suatu konsep yang kasuistik. Meski demikian, perdebatan tentang kelemahan teori Bentham masih terus berlangsung hingga hari ini.

Warisan Bentham tidak hanya bertahan dalam filsafat, tetapi juga nyata terasakan dalam teori kebijakan sosial dan hukum. Pemikirannya memengaruhi tokoh seperti John Stuart Mill. Bahkan, utilitarianismenya menjadi dasar bagi berbagai kebijakan publik di berbagai negara yang mempertimbangkan manfaat kolektif. Prinsip utilitarianisme, dengan segala keterbatasannya, tetap menjadi ajakan bagi kita untuk selalu bertanya: apakah tindakan kita membawa manfaat yang lebih luas atau justru menambah penderitaan bagi orang lain?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun