Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bonus Demografi Harus Kita Pertanggungjawabkan

7 September 2016   09:23 Diperbarui: 7 September 2016   09:47 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MANUSIA, SUMBER UTAMA MASALAH DUNIA!

Bangsa kita sangat terpengaruh pemikiran bangsa Tiongkok dan India Kuno. Salah satu yang paling kuat pengaruhnya, dan yang hasilnya dapat kita lihat sekarang, adalah kepercayaan “banyak anak, banyak rezeki”. Seiring berjalannya waktu, Cina, India, dan Indonesia sendiri telah menyadari gawatnya kesalahkaprahan keyakinan tersebut. Pasalnya, bukan rezeki yang diperoleh dari mempunyai banyak anak, melainkan malapetakalah yang didapat.

Sumber utama masalah di seluruh alam semesta adalah manusia itu sendiri. Gunung meletus, sungai meluap pada musim hujan, badai tornado, dan gempa. Jika semua itu terjadi di suatu daerah di mana tidak ada manusianya, apakah kita akan menyebut semua itu sebagai “bencana alam”? Tidak. Kita akan menyebut semua itu sesuai hakekat aslinya, yakni “fenomena alam”, sedahsyat apapun semua itu terjadi. Alasannya, sebab tidak ada satu pun manusia yang tinggal di tempat kejadian. Dengan kata lain, apapun yang terjadi, bagaimanapun itu terjadi, jika merugikan dan mencelakakan manusia, maka semua itu akan dipandang sebagai masalah. Maka, nomenklatur berkategorikan masalah seperti “bencana” pun kita kenakan pada semua kejadian tersebut.

Sebaliknya, ketidakadilan nampak begitu nyata ketika kita sendiri yang mendampakkan kerugian terhadap alam dan makhluk lain. Menebangi hutan, membunuhi satwa liar, membuang limbah ke laut dan sungai, serta menguras isi bumi dalam pertambangan. Sepanjang semua kegiatan kita itu tidak membawa efek buruk bagi kita sendiri, kita tak pernah menyebut semua itu sebagai masalah dan bencana. Nah, ketika kemudian konsekuensinya berbalik menyerang dan membahayakan kita, barulah kita menyebutnya sebagai masalah dan bencana.

Kesimpulannya, semakin banyak manusia di muka bumi, semakin banyak pula masalah di bumi ini. Tidak pernah ada sejarah dalam bangsa manapun yang membuktikan bahwa banyaknya jumlah manusia bisa mendatangkan kebaikan. Satu-satunya yang dapat dianggap sebagai keuntungan dari banyaknya jumlah manusia adalah dalam hal peperangan. Jelas, pihak yang memiliki lebih banyak pasukan akan lebih diuntungkan sehingga memiliki lebih besar kemungkinan memenangkan peperangan. Berarti, keuntungan yang dimaksudkan dalam hal ini pun bukanlah bagi kebenaran dan kemanfaatan, namun bagi kejahatan dan kemudaratan. Lagipula, dalam dunia pasca-modern sekarang ini, keuntungan yang diberikan oleh lebih besarnya jumlah personel tentara tidak lagi terlalu signifikan. Kecanggihan teknologi dalam bidang intelijen dan peralatan tempurlah yang terbukti lebih ampuh sebagai modal memenangkan peperangan.

Dan hal tersebut lebih menguatkan lagi bukti bahwa banyaknya populasi tidak ada gunanya untuk suatu masyarakat, dan malahan jadinya menampar masyarakat itu sendiri dengan serangkaian permasalahan dan petaka yang disebabkannya. Karena, tentu menjadi makin banyak orang yang harus diberi makan, disekolahi, dan diberi pekerjaan. Pula, kian banyak sampah yang dihasilkan, kejahatan dan kriminalitas yang terjadi, serta lahan yang harus disediakan untuk pemukiman dan pemakaman.

BONUS DEMOGRAFI ADALAH KESEMPATAN EMAS UNTUK INDONESIA?

Melihat semua itu, bagaimana kita bisa bilang bahwa bonus demografi, yang akan dialami Indonesia sebentar lagi, yakni mulai tahun 2020 nanti, adalah sebuah keuntungan? Apakah pemikiran seperti itu rasional? Dikatakan, dengan melimpahnya penduduk berusia produktif pada kurun tahun 2020 hingga 2030 mendatang, Indonesia berkesempatan meningkatkan perekonomian karena banyaknya sumber daya manusia (S.D.M.) yang bisa berkarya. Memangnya sekarang Indonesia kekurangan S.D.M. sebagai tenaga kerja? Bukankah sudah sejak beberapa dasawarsa yang lalu pengangguran menjadi masalah kronis untuk bangsa ini? Apalagi nanti, kalau sudah terjadi bonus demografi. Akan semakin bertambah banyak lagi penduduk usia produktif yang membutuhkan lapangan kerja, sehingga bisa dipastikan, justru tingkat pengangguran akan menjadi semakin parah pula.

Kita, bangsa Indonesia, sudah pernah menyadari kesalahan kita yang bangga dengan banyaknya populasi, lalu berusaha sekuat tenaga menahan malapetaka yang diakibatkannya dengan menggalakkan Gerakan Keluarga Berencana (K.B.). Dan gerakan ini pernah sangat berhasil pula. Namun, kini, apakah kita akan kembali kepada kebodohan yang serupa dengan yang pernah kita pegang teguh lewat pemeo sesat “banyak anak, banyak rezeki” tempo dulu itu?

Tidak! Kita tidak boleh demikian! Tidak ada satu riset pun yang sanggup membuktikan, berlimpahnya S.D.M. yang berumur produktif dalam suatu bangsa pasti menjadi jaminan kemakmuran dan kemaslahatan untuk bangsa yang bersangkutan. Yang ada justru sebaliknya. Sekalipun seluruh S.D.M. berusia produktifnya memiliki kualifikasi dan kualitas karakter dan intelektual yang sangat gemilang, dan untuk mereka semua tanpa terkecuali tersedia lapangan kerja yang cukup, serta semua sistem yang berlaku di negara mereka sudah dibuat dan dijalankan dengan amat sangat sempurna, tetap saja bangsa tersebut akan mengalami penderitaan kalau sampai kebebanan jumlah penduduk.

Mengapa? Bukankah produktivitas hasil dari kerja produktif, kreatif, dan inovatif para S.D.M. tersebut akan berjumlah bukan-main besar, dan merupakan hal yang positif? Benar. Tetapi, tolong jawab juga pertanyaan-pertanyaan berikut. Apakah ada kegiatan produksi dan kreasi produktivitas yang tidak menuntut pemanfaatan sumber daya-sumber daya lain, seperti hasil bumi, hasil hutan, hasil laut, tambang, air, dan bahkan sampai angin, sebagai sumber energi, bahan mentah, bahan baku, sarana-prasarana, dan alat perlengkapan produksi? Dan bukankah ada, bahkan cukup banyak, kegiatan produksi dan kreasi produktivitas yang menghasilkan ampas produksi, alias limbah, yang sama sekali tidak dapat dipakai lagi akibat sama sekali sudah tak dapat didaur-ulang lagi serta tak mungkin lagi ikut dalam rantai ekologi, seperti limbah nuklir, limbah kimia, dan limbah biologi? Jawaban untuk pertanyaan pertama sudah pasti hanya: “tidak ada”. Dan untuk pertanyaan kedua, kita pun cuma sanggup menjawab “ya” saja, ada ataupun tidak adanya argumentasi yang mengikuti setelahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun