Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Nasionalisme Dihadapkan dengan 'Realitas Langit'

28 Oktober 2016   14:29 Diperbarui: 28 Oktober 2016   17:49 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halaman depan harian Kompas, 28 Oktober 2016

Ketika melihat tampilan harian Kompas cetak hari ini dengan judul 'Wajah Baru Nasionalisme', saya sedikit tertegun. Sebuah foto dari era jadul ditampilkan dengam nuansa halaman berwarna merah. Di sebelah atas ada teks Sumpah Pemuda dan juga tagar #AKUINDONESIA.

Miris sambil merasa rindu dengan tampilan foto seperti itu. Pada saat saya masih kecil di tahun 1980-an, saya masih bisa menikmati suasana keakraban yang kental di berbagai lingkungan saya. Sebagai seorang anak yang masih lugu, saya bisa bermain bebas dengan siapapun teman saya. Tidak peduli dengan status sosial dan latar belakang, termasuk agama. Tapi sepertinya saat ini keadaan itu sudah banyak berubah.

Jika sewaktu saya masih kecil, saya masih bergidik bangga kalau mendengar lagu Indonesia Raya setiap kali upacara bendera diadakan. Ada rasa kebersamaan dan keakraban yang tidak mudah untuk dijelaskan walau saya bisa merasakannya saat itu. Tapi keadaan tersebut sudah tidak lagi banyak diperhatikan saat ini dan kita lebih banyak peduli dengan banyaknya aktivitas yang lebih merebut perhatian kita dibanding sekadar mengikuti upacara yang terasa membosankan.

Kini, untuk menikmati suasana yang sama tidak lagi mudah. Yang terdekat hanyalah ketika melihat upacara di televisi, itupun kalau ada liputan penuh. Sudah syukur kalau diliput beberapa saat saja. Tontonan sinetron penuh intrik lebih menjual dibanding acara baris berbaris yang cenderung monoton. Tak cukup diempas berbagai kegiatan manusia yang lebih bersifat hedonistik, ritual usang seperti lomba gerak jalan juga sudah menjadi acara nostalgia. Paling banter saat acara lomba sehat yang tentu disponsori oleh merek tertentu. Sudah jarang muncul kesadaran dari komunitas masyarakat untuk mengakrabkan sesama anggota masyarakat melalui kegiatan bersama yang didasari oleh rasa cinta dan bangga akan tanah air.

Rasa bangga sebagai bangsa Indonesia terkikis oleh banyak hal. Mulai dari gempuran teknologi, merebaknya pemujaan akan pemuasan diri sendiri, sampai yang paling ramai adalah mengubah realitas bumi menjadi realitas langit.

Apa Itu Realitas Langit?
Jika Anda belum paham dengan istilah realitas langit, perkenankan saya memberikan sedikit penjelasan. Realitas langit bisa dikatakan semua hal yang didasarkan kepada satu kehendak atau aturan baku sebagai standar utamanya, biasanya diambil dari aturan agama/kitab suci. Jadi realitas langit bisa dikatakan sebagai semua kondisi aktivitas manusia yang menjadi rujukan untuk dilakukan.

Yang menarik bagi saya adalah kenapa sekarang banyak keadaan yang berubah. Mending berubah menjadi hal bagus, tapi banyak pula yang berubah menjadi hal yang buruk dan tidak terkendali. Contoh seperti kerukunan beragama, toleransi antar anggota masyarakat, pemahaman terhadap perbedaan bahkan yang paling parah adalah memaknai banyak hal dengan serampangan.

Walau bukan seorang pakar realitas langit, apalagi pemeluk yang sudah mencapai level spiritual tertinggi, saya masih bisa melihat dengan jelas bahwa rasa cinta akan Tanah Air juga merupakan sebuah bentuk ibadah. Sebuah bentuk aktif dari rasa syukur dan manifestasi dari perbuatan yang baik. Nasionalisme tidak lagi hanya dilihat dari kacamata sempit yaitu sebuah isme yang cenderung bersifat narsistik kepada satu bentuk persatuan buatan manusia. Nasionalisme bukan pula bentuk sederhana dari produk masa lalu ketika era kemerdekaan berlangsung.

Banyak pihak yang menganggap nasionalisme hanya sebuah produk di era jadul yang lebih tepatnya dikonsumsi oleh orang tua yang sudah uzur dan masih hidup dalam kenangan ORLA dan ORBA. Nasionalisme bukan lagi produk reformasi, apalagi jaman sekarang jaman teknologi berbalut jaman realitas langit. Pancasila. bendera merah putih, burung garuda, bisa jadi semua itu semakin pudar dan hanya menjadi emblem yang tidak bermakna apa-apa. Sebuah simbol yang nyaris tanpa makna? Saya tidak suka dengan kalimat itu, tapi saya sendiri menyaksikan disekitar kita keadaan demikianlah yang banyak muncul.

Apakah nasionalisme tidak relevan lagi karena masih berkutat dengan masalah bumi? Masalah badani? Masalah nyata antar satu individu dengan banyak? Mungkinkah bila nasionalisme diganti dengan realitas langit keadaan akan lebih baik? Banyak pro dan kontra. Tidak mudah menterjemahkan hal ini kedalam bentuk realitas sehari-hari karena urusan langit pun ternyata tidak semudah yang kita kira. Tiap langit kini ada kaplingnya. Dan aturan tiap kapling juga bisa berbeda.

Mungkin, dan saya hanya bisa menebak dari pemikiran yang awam ini, bahwa para pendiri negara ini membuat kesepakatan menggunakan nasionalisme sebagai fondasi utama bukan realitas langit sebagai bentuk kesadaran bahwa mengkapling langit jauh lebih sulit daripada menyatukan ukuran pemikiran manusia Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun