Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kelanjutan Kisah MCA

1 Maret 2018   13:09 Diperbarui: 1 Maret 2018   13:16 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)

Tentu anda membaca berita tentang penangkapan beberapa gembong MCA (Muslim Cyber Army) beberapa hari lalu. Sampai sekarang banyak berita yang membahas hal tersebut baik di media online maupun medsos. Cukup seru bukan? Setelah berkiprah sekian lama, akhirnya beberapa admin dan pelaku langsung berhasil ditangkap oleh Siber Bareskrim Polri. Sebuah prestasi yang membanggakan ditengah terpaan berita hoaks yang seakan-akan tidak pernah berhenti.

Walau menggunakan nama Muslim, tapi dalam praktiknya kelompok ini sangat jauh dari pengertian kata itu. Lebih cocok dikatakan sebagai penyebar isu provokatif alias teroris dunia maya yang selalu berkeinginan menyebar berita fitnah, penuh kepalsuan dan selalu berisikan isu kebencian. Mungkin penggunaan nama ini yang membuat banyak kalangan umat muslim Indonesia menjadi marah dan merayakan penangkapan mereka karena sangat jauh dari arti kata yang seharusnya menggambarkan pengertian dari muslim yang sejati.

Diawal pendirian kelompok dunia maya ini, tujuan mereka sebenarnya adalah untuk melakukan oposisi terhadap pemerintah dengan memanfaatkan internet sebagai medium komunikasi dan penyebaran konten dari kelompoknya. Tak dinyana kalau gerakan ini berhasil menarik kelompok lain dari berbagai umur, jenis kelamin, pendidikan dan terutama ideologi. Sebenarnya banyak anggotanya yang tidak selalu satu ideologi dengan mereka. Namun nama besar MCA selalu berhasil menarik minat untuk bergabung karena konten mereka berbeda, unik dan sangat militan.

Anak-anak muda yang masih labil dan cenderung mau narsis banyak ikut dalam kelompok ini. Walaupun mereka hanya sekedar ikut-ikutan tapi jumlahnya sangat signifikan jumlahnya. Mencapai puluh ribuan. Sebuah angka yang tidak main-main walau hanya sekedar fans saja. Sekarang masih menjadi fans, lama-lama akan menjadi militan sejati. Seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa bagian kelompok dengan ideologi radikal yang sudah tumbuh dan menebal sebelumnya. Kalangan ini berasal dari umur yang lebih dewasa dan dengan kemampuan ekonomi serta status yang lebih mapan. Jumlahnya juga sangat besar mencapai puluhan ribu orang. Tidak hanya pria, wanita juga banyak. Bahkan ibu-ibu rumah tangga sangat ramai di kelompok ini. Maklum kelompok MCA menerapkan sistem terbuka, walau ada beberapa group kelompok ini bersifat tertutup dan terbatas juga.

Mengapa bisa banyak yang bergabung? Apa menariknya? Kesatuan pemahaman yang mendorong mereka untuk bersatu dan kemudahan teknologi mendorong proses itu lebih cepat. Media online dan medsos menyediakan berbagai berita yang bisa di"goreng" untuk membuat anggota kelompok ini semakin bersatu karena direkayasa untuk membenci sebuah pemerintahan, sebuah lembaga, bahkan seorang individu sekalipun. Dalam hal ini anda sudah bisa menduganya: Presiden Jokowi. Sudah bukan rahasia lagi kalau MCA sangat membenci Jokowi dan pemerintahannya. Dan kebencian ini yang menyatukan mereka semua. Entah itu karena sekedar terhasut atau memang benar-benar dari hati.

Euforia ingin tampil berbeda, pemahaman agama yang sempit dan bibit -bibit radikalisme yang sudah tumbuh subur dan berkembang di sebagian dari masyarakat kita membuat kelompok ini mendapatkan tempat yang nyaman di Indonesia. Kelambanan pemerintah merespon menambah kompleksnya masalah. Kenapa? Kelompok ini berbeda dengan teroris formal yang bergerak di lapangan. Kelompok ini lebih mudah berinteraksi, berkomunikasi, bahkan melakukan berbagai aksinya yang hanya menggunakan laptop, PC dan perangkat HP. Dengan teknologi medsos, semua individu bisa menjadi tentara online baik secara tim maupun individu (lone wolf). 

Walau terkesan lamban, akhirnya pemerintah merespon dan ikut menggunakan teknologi untuk mengimbangi kekuatan kelompok MCA ini. Bahkan teknologi yang digunakan pemerintah jauh lebih canggih, bahkan sampai bisa mendeteksi keberadaan si pelaku penyebar hoaks. Hal ini yang lamban diantisipasi oleh kelompok penyebar isu provokatif seperti MCA. Mereka mengira sembunyi di balik beberapa aplikasi yang tertutup dan terenkripsi akan membuat mereka aman. Hal ini dipicu oleh berita bahwa ISIS menggunakan aplikasi seperti telegram karena aman. Mereka lupa kalau  telegram memang cukup aman, tapi masih banyak alat dan metode lain untuk bisa melacak keberadaan mereka. Dan peralatan ini biasanya hanya dimiliki oleh negara.

Apakah penggunaan perangkat pendeteksi seperti ini akan mengancam kebebasan berpendapat? Sebenarnya tidak sama sekali. Penggunaan alat-alat intelijen khusus seperti yang digunakan aparat negara kita ditujukan karena kondisi nasional yang diganggu oleh berbagai berita hoaks dan sangat merugikan banyak pihak. Ujaran kebencian yang dilakukan dan disebar ke publik sudah banyak memakan korban. 

Dan hal inilah yang memicu penangkapan para pelakunya. Bukan seperti yang dituduhkan oleh beberapa pihak bahwa negara sedang menekan suara kritis. Kita harus bisa membedakan mana suara kritis dan mana yang menghina serta berisi kebencian. Publik harus belajar dan diajarkan untuk beradu argumentasi sehat dan berdasarkan fakta, bukan menyerang pribadi dengan berita palsu dan fakta yang diputar balikkan. Dan kita sudah memiliki perangkat hukum dan aturan untuk itu.

Seperti yang kita duga, segera saja kelompok ini goyang dan kocar kacir. Terlihat dari berbagai respon mereka yang langsung bersembunyi dan mengganti nama fanpage, group WA atau telegram serta menutup akun-akun mereka. Sayangnya hal ini sudah tidak terlalu berpengaruh. Mereka mengira bahwa data mereka baru didapat belakangan ini. Padahal sebagian besar dari mereka sudah terdata. Jadi aparat tinggal memilih dan memilah mana yang perlu ditangkap karena merupakan pelaku utama atau gembongnya. Sementara yang lain? Akan lari terbirit-birit sementara waktu. Tidak perlu menangkap tikus satu lumbung, cukup biang keroknya saja. 

Apakah mereka akan punah? Tidak juga. Mereka akan berubah dan menyesuaikan diri. Perang di dunia maya (medsos) seperti ini lebih mirip seperti pola tikus kucing. Saling kejar mengejar, kadang ada yang dapat dan ada yang luput. Untuk sebagian pelaku akan kapok dan seperti terlihat di beberapa lokasi: meminta maaf resmi dan menyesal akan perbuatannya. Umumnya datang dari kalangan remaja dan anak muda. Sebagian lagi akan semakin menutup diri dan bergerak secara underground. Biasanya dari kalangan dewasa dan sebagian memiliki skill dan pengetahuan teknologi yang cukup mumpuni. Mereka bisa menghilang buat sementara waktu. Kenapa sementara? Negara sudah mendata mereka dan tinggal menunggu saat yang tepat untuk merespon gerakan di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun