Mohon tunggu...
Mh Samsul Hadi
Mh Samsul Hadi Mohon Tunggu... profesional -

Bergabung “Kompas” pada 2002, tiga tahun setelah memulai petualangan di ranah sepak bola. Meliput antara lain Piala Asia 2000 Lebanon; Asian Games 2006 Doha, Qatar; Piala Eropa 2008 Austria-Swiss; Piala Konfederasi 2009 Afrika Selatan; Piala Dunia 2010 Afrika Selatan; Piala Eropa 2012 Polandia-Ukraina. Sejak April 2014, bertugas di Desk Internasional.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Stephansdom, Titik Nol ke Wina Abad Pertengahan

18 Juni 2008   05:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:26 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

JIKA berkunjung ke Wina, ibu kota Austria, jangan lupa menyusuri kawasan kota tua sekitar Stephansdom (bahasa Jerman) atau Gereja Katedral St Stephen. Begitu pesan warga setempat dalam perjalanan kereta dari Swiss menuju Wina, Senin (16/6) lalu. Ia tidak menjelaskan banyak hal tentang Stephansdom dan meminta agar mengunjungi langsung kawasan itu.

 

 

Di sela-sela liputan Piala Eropa 2008, yang Kamis ini mulai memasuki babak perempat final, kesempatan berkunjung itu datang tiga kali dalam waktu berlainan. Pertama, selepas tengah malam ketika warga setempat baru saja menyaksikan timnas Austria kalah dari Jerman 0-1 di Stadion Ernst-Happel. Di tengah malam itu, kawasan sekitar Stephansdom tetap ramai banyak orang.

 

 

Ada yang duduk di beberapa kursi panjang sambil bercengkerama, ada yang cukup berjalan-jalan, tetapi ada juga anak-anak muda yang mengibarkan bendera Austria dan menyapa para suporter Jerman yang sedang lewat. ”Ini gereja tua di kota ini. Lihat bangunannya, tidak berubah, seperti aslinya,” ujar rekan fotografer yang sebelumnya pernah menjejakkan kaki di kawasan itu.

 

 

Di bawah langit yang gelap, dinding gereja itu terlihat berwarna gelap kehitam-hitaman. Kesan pertama yang muncul melihat gereja itu: angker. Sebuah menara menjulang ke angkasa dengan bagian ujung tengah direnovasi. Dari informasi seputar gereja ini, menara itu setinggi 136 meter dan dibangun dalam waktu 65 tahun (1368-1433).

 

 

Ketika Kesultanan Turki Utsmani berusaha merebut Wina tahun 1529 dan pada Perang Wina tahun 1683, menara itu digunakan untuk pos pengamatan tentara setempat. Catatan sejarah itu mungkin tidak terlalu dipedulikan anak-anak muda yang malam itu mengibarkan bendera Austria sambil meneriakkan ”Campeone! Campeone! Campeone!”

 

 

Kesempatan kedua mengunjungi kawasan itu muncul, Selasa sore, ketika orang-orang tumplak di jalanan dan toko-toko sekitar Stephansdom mulai tutup. Jalan selebar kira-kira 20 meter, yang menghubungkan Stephansdom dengan bangunan-bangunan tua lainnya tak ubahnya ”surga” bagi pejalan kaki. Kendaraan motor dilarang memasuki jalan itu, tetapi sepeda diperbolehkan.

 

 

Buku ”Fodor’s Austria” edisi ke-12 (2007) menyebut Stephansdom sebagai poros tempat Kota Wina dibangun. Gereja tuan itu menjadi titik tempat mengukur jarak dari dan menuju Wina. Dari gereja tuan tersebut, wajah Kota Wina Abad Pertengahan bisa dirunut atau dibayangkan. Singkat kata, ia menjadi semacam titik nol untuk memasuki lorong-lorong Kota Wina Abad Pertengahan.

 

 

 

Kuliner, musik dan merpati

Sore itu, kawasan jalan kaki di sekitar Stephansdom penuh pengunjung. Kafe-kafe, kedai kopi, dan restoran berbagai jenis masakan (termasuk masakan China dan Jepang) menggugah selera makan. Saya mencoba restoran China ”Zum Mandarin” di sebuah lorong jalan: seporsi nasi goreng 5,80 euro. Terasa mahal jika dirupiahkan, tetapi lezat rasanya.

 

 

Di kawasan Stephansdom, berbagai restoran menawarkan menu kuliner dari beberapa negara. Tidak ketinggalan restoran waralaba, McDonalds, yang buka hingga jam 04.00 pagi. Di kawasan kota lama itu, atmosfer klasik dan moden berpadu. Di depan Stephansdom sendiri, berdiri Hotel Am Stephansplatz, Bank Austria, toko buku ”One World”, dan simbol-simbol modernitas lainnya.

 

 

Tak ketinggalan musik. Sekumpulan pria memainkan musik dengan lagu-lagu klasik, tidak jauh dari Stephansdom. Seolah ikut menikmati alunan musik, burung-burung merpati beterbangan ke sana kemari di halaman Stephansdom. Konon, komponis dan maestro musik klasik Ludwig van Beethoven sering mendapat inspirasi saat melihat merpati-merpati itu terbang dari bel gereja.

 

 

Kesempatan ketiga mengunjungi Stephansdom datang, Rabu siang kemarin. Pengunjung bertambah ramai dengan melubernya rombongan wisatawan, mulai dari anak-anak hingga lanjut usia. Seorang penjaga di depan pintu Stephansdom menawarkan, ”Anda berminat menikmati konser musik di rumah Mozart?”

 

 

Wow. ”Silakan datang di gedung Archbishop Colloredo sekitar jam 19.30,” kata pria itu sambil menyerahkan brosur tertulis € 42 (Kategori A) dan € 35 (Kategori B). Tak salah, Stephansdom adalah titik awal memasuki lorong-lorong Kota Wina Abad Pertengahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun