Datu nagadongon !
(Memaknai kias dan noktah)
Oleh : Sampe Purba
1. Datu - adalah atribut kehormatan yang disematkan kepada seseorang yang diakui keahlian, kepiawaian atau kehebatannya. Itu adalah profesi terhormat dengan strata tersendiri di masyarakat zaman dulu. Ada yang ahli pengobatan, ahli menolak atau mendatangkan bala, meramal hari baik, tebakan lotere, ilmu kebal kanuragan, memperkuat wibawa kepemimpinan, pun hingga memelet wanita. Atribut disematkan sesuai dengan spesialisasi yang telah diakui kemustajabannya.
Ada Datu Pangulpuk, Datu Pangabas, Datu Panusur, Datu Pamolgak dan sebagainya. Profesi yang disegani. Tidak perlu sertifikasi.
Gadong (ubi jalar) adalah makanan pokok yang terpaksa dikonsumsi untuk survive. Di beberapa daerah - di dataran tinggi miskin hara, dimana hasil panen padi tidak mencukupi, gadong adalah makanan pokok. Hingga pertengahan tahun 1970 an, di beberapa kecamatan di dataran tinggi Humbang misalnya, gadong adalah penopang utama konsumsi asupan makanan sehari-hari (karena terpaksa),
Sekarang ini, seiring dengan kemajuan zaman, gadong sudah ditinggalkan. Ditanam hanya sekedar untuk makanan pokok hewan hewan peliharaan.
Kesaktian, wibawa dan sahala (marwah) seorang datu diperoleh dari hasil berguru, berlatih atau warisan seperti kedinastian. Kesaktian itu bisa juga hilang. Entah karena ada datu baru yang lebih sakti, atau ilmu keahliannya belum sampai ke persoalan yang diperhadapkan atau - konon - karena sang Datu melanggar pantangan sumber ilmunya.
Misalnya, seorang datu yang dipanggil untuk mengobati, malah pasiennya mati. Atau datu yang murid muridnya kalah melulu bertarung di arena Pilkada adalah pertanda mulai lunturnya kesaktian sang Datu.
Dari tokoh terhormat, sebutan sang datu terjerembab menjadi "datu nagadongon", datu abal-abal, datu lanteung dan sejenisnya.
Seseorang - entah itu Pemimpin Organisasi, Pemilik Toko, Guru Huria, Ketua Partai dan sejenisnya, yang tidak becus dan amanah, akan dilabeli nagadongon.
Toke kerbau, yang ingkar janji melunasi hewan berbilang pekan, oleh si miskin peternak yang capek dan frustasi menagih akan mengumpat sang juragan, sebagai Tokke horbo nagadongon !. Seorang Guru Huria, yang kehilangan ruas yang berpindah ke lain channel, karena kurang kreatif dalam pelayanan, tetapi menyalahkan jemaatnya sebagai tidak setia, plin-plan dan murtad, layak disebut Parhangir nagadongon. Seorang Ketua organisasi Partai, yang tidak mengakar, didongkel, lalu memelas ke balik jubah Chief Majelis Paniroi, sambil menuding ke sana kemari... inipun masuk kategori Ketua nagadongon.
Tetapi gadong juga punya makna simbolis terhormat. Perhatikan ilustrasi berikut
2. Datu ! na gadongon
(Artinya : Bapak Datuk, monggo disambi ubinya). Ini adalah bentuk ucapan terima kasih petani kepada sang Tabib, yang telah mengobati anaknya hingga sembuh.
Sang petani miskin, tidak punya apa-apa, kecuali gadong itu. Gadong, adalah makanan utama untuk menopang keseharian keluarganya. Sebagian dari gadong itu, dipersembahkan sebagai upa datu tanda terima kasihnya yang tulus.