Mohon tunggu...
sampe purba
sampe purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Insan NKRI

Insan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Naik Kereta Api Tut... Tut..Tuut...

21 Maret 2018   21:19 Diperbarui: 21 Maret 2018   21:34 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Naik Kereta Api ... tut ...tut .... tuut

Oleh : Sampe L. Purba

Setelah lebih tiga puluh tahun malang melintang menelusuri jalanan -- sebagai commuter Jakarta -- untuk pertama kalinya, sore tadi saya menjajal perjalanan pulang ke rumah  dengan Commutter Line. Dari Stasiun Sudirman -- tukar line di Manggarai -- selanjutnya mengambil kereta jurusan Bekasi.

Kereta api telah menjadi moda transportasi sejak zaman administrasi Belanda. Sejarah kereta api di Indonesia dimulai ketika pencangkulan pertama jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden (Solo-Yogyakarta) di Desa Kemijen oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr L.A.J Baron Sloet van de Beele tanggal 17 Juni 1864. Namun, ini adalah Kereta Api Zaman Now. Modern. Salah satu master piece karya Pak Ignasius Jonan (saat ini MESDM), semasa beliau Dirut PT Kereta Api Indonesia (2009 -- 2014), yang berhasil merubah mindset para awak kereta api ke mentalitas pelayanan, dan juga melengkapi kereta dengan teknologi modern, seperti penggunaan tiket terpadu, one man one ticket,dan otomasi pelayanan. Ternyata kartu e-toll sayapun dapat merangkap sebagai kartu bis transjakarta dan kereta api. Di stasiun ada pula fasilitas mesin untuk top up kartu.

Stasiun Sudirman relatif bersih, ada coffee shop dan bakery yang menyediakan free wifi. Juga toilet, dan tong sampah. Bahkan juga ada lift untuk penyandang disabilitas dan senior citizen yang memerlukan.

Di kereta yang ber AC berbaur (dan agak berjejal) berbagai kalangan. Didominasi penumpang usia produktif, pekerja dan mahasiswa. Masih tampak nilai-nilai ketimuran itu. Yang muda memberi tempat kepada yang senior, dan tetap nyaman memelototi gadgetnya. Di kereta tidak ada pengamen, pengasong atau orang yang merokok. Satu dua orang Security berompi khusus meronda dengan wajah ramah tetapi berwibawa. Sepanjang perjalanan, mata dimanjakan dengan pemandangan pemukiman yang sebagian kurang tertata. Plus corat coret di dinding perkampungan. Ditingkahi poster para politisi pengumbar harapan. Mengemis suara.

Semasa aktif berdinas, saya sering menjajal kereta api pada jam-jam sibuk di berbagai Negara. Dalam beberapa hal tertentu, kenyamanan di dalam Kereta ini  tidak berbeda jauh dibanding kereta di kota-kota besar seperti Tokyo, London, Beijing atau Delhi. Bahkan Kereta yang saya naiki ini jauh lebih bersih dibanding satu line kereta di sekitar Brooklyin-New York, yang didalamnya ada kebisingan pengkhotbah dan pengamen yang rada seram.

Memang di kereta ini belum ada cctv, penunjuk perhentian stasiun secara elektronik, atau free wifi. Himbauan jangan makan, jongkok lesehan dan menjaga barang-barang disampaikan dalam Bahasa Indonesia melalui mikrofon yang beraudio jernih. Sementara Pengumuman stasiun perhentian disampaikan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggeris.

Beberapa hal mendesak yang menjadi masukan untuk perbaikan, adalah di luar gerbong kereta. Di beberapa stasiun seperti Manggarai misalnya, peron tidak sepenuhnya tertutup. Penumpang turun dari gerbong, dibantu dengan penghubung  semacam anak tangga, yang jarak celahnya dari lantai kereta maupun ke gerbong cukup jauh. Ada yang hampir 40 cm. Ini tidak memberikan safety, dan rawan tergelincir apalagi kalau hujan dan berdesakan. Tidak beratap pula.

Pada hal... Pengguna kereta ini terdiri dari berbagai kalangan. Tua dan muda. Anak-anak dan lansia. Merekalah -- khalayak kerumunan yang secara tidak langsung membantu Pemerintah mengurangi beban fiskal, tidak menggunakan mobil atau bis untuk menghemat BBM bersubsidi.  Para pahlawan keluarga. Ada ratusan ribu orang pengguna kereta setiap hari. Mereka adalah orang-orang produktif. Para pembayar pajak, yang suaranya diemis para politisi setiap musim pemilu atau pilkada. Mereka layak dilayani dengan lebih baik. Memang kita sudah mengarah ke sana. Kereta Bandara di Medan atau Soetta adalah contohnya. Tidak kalah dengan pelayanan kereta di Singapura atau Hong Kong. Semoga Pemerintah ini dapat berlanjut untuk meningkatkan kenyamanan di moda transportasi massal ini.

Di stasiun tujuan, ada parkiran motor yang luas. Sedangkan untuk mengambil ojek on line, harus berjalan sedikit ke luar. Tampaknya dilarang pengojek pangkalan. Sesama pengojek punya lahan masing-masing. Tetapi sesungguhnya pelanggan deserves the best. Pengojek Pangkalanlah yang seharusnya berbenah menyesuaikan dengan tuntutan zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun