Mohon tunggu...
sampe purba
sampe purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Insan NKRI

Insan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Esensi dan Revolusi Lembaga Praperadilan

30 September 2017   09:52 Diperbarui: 30 September 2017   10:29 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : Sampe L. Purba

Dalam sistem peradilan pidana kita kedudukan terperiksa, saksi dan tersangka lebih lemah dibanding dengan aparat penegak hukum yang berwenang menentukan nasib yang bersangkutan apakah tetap merupakan manusia bebas atau akan diberi predikat baru sebagai tersangka. Status tersangka akan merenggut sebagian hak hak dan martabat seseorang, seperti nama baik, kedudukan pada jabatan resmi tertentu yang harus dilepas, perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan (penahanan, pembatasan berinteraksi, pelarangan akses ke alat-alat komunikasi) dan sebagainya. 

Asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah), seolah tidak berlaku di sini. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan hak kepadanya untuk mendapatkan pendampingan dan penasihat hukum sampai ditentukan statusnya sebagai tersangka. Kehadiran Penasihat Hukum dalam pendampingan pada proses awal sepenuhnya adalah diskresi dari Aparat Penegak Hukum yang meminta keterangan, menyelidiki, menyidik atau atau melakukan penyidikan lanjutan.

Kedudukannya baru relatif lebih seimbang setelah perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan. Dalam kedudukan statusnya yang baru sebagai terdakwa, di persidangan dia berhak didampingi oleh penasihat hukum, mengajukan bukti dan saksi  dan mengcounter dakwaan, mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) dan sebagainya, untuk selanjutnya menyerahkan nasibnya kepada putusan Hakim.  

Menyadari hal tersebut, perancang KUHAP memberikan secara normatif kelonggaran administratif untuk menetralisir ketidak seimbangan itu dalam lembaga yang disebut Praperadilan. Praperadilan ini seyogianya harus dapat perperan dan dimaknai sebagai habeas corpusyakni semacam upaya hukum khusus berupa hak untuk menguji, menuntut, menantang prosedur yang mengakibatkan tercerabutnya kedudukannya sebagai subjek hukum manusia bebas.

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus :

  • sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka
  • sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan
  • permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan

Disebut terkesan normatif dan hanya bersifat kelonggaran administratif, karena dimaknai :

  • Lebih bersifat menguji prosedur (due process of law)  dan bukan substansi (materi perkara).
  • Hakim pada lembaga praperadilan adalah hakim tunggal. Pemeriksaan Praperadilan dilakukan dengan acara cepat dan selambat-lambatnya dalam 7 hari hakim sudah harus memberikan putusan.
  • Dengan adanya pembatasan ini, Hakim dapat memilih atau menolak keterangan dan bukti yang diajukan pihak pemohon atau termohon, dengan berbagai argumen seperti : tidak relevan sepanjang menyangkut prosedur, bukti yang diajukan telah menyentuh dan menyangkut materi perkara,  ini bukan pemeriksaan yang memberikan hak jawab, hak bantah, replik - duplik dan sebagainya.
  • Tidak ada banding atas putusan Praperadilan. Termohon atau Pemohon tidak memiliki hak untuk melakukan banding. Mahkamah Konstitusi mencabut hak banding dengan alasan antara lain bahwa filosofi Praperadilan adalah acara peradilan cepat (Putusan 65/PUU/IX/2011).
  • Pemeriksaan Praperadilan akan gugur apabila perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri, dan pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan Praperadilan belum selesai (Pasal 82 KUHAP).
  • Putusan bersifat declaratoir (penjelasan)  dan constitutief ( memulihkan atau meniadakan status hukum), dan tidak condemnatoir (menghukum salah satu pihak). Artinya, sekalipun terbukti bahwa secara prosedural Penyidik atau Penuntut Umum bersalah dalam proses itu, tidak ada sanksi atau hukuman kepada mereka. Bahkan justru dimungkinkan untuk  diterbitkan misalnya SPRINDIK baru. Hal ini antara lain, juga karena status subjek hukum yang merasa hak-haknya dilanggar adalah "Pemohon", bukan "Penggugat" atau "Pengadu". Posisi Penyidik adalah Termohon, bukan Pihak dalam Praperadilan. Keperluan Hakim menghadirkannya adalah semata-mata untuk didengar keterangannya, bukan untuk berbantah-bantah dengan Pemohon di depan persidangan. Pada hal, ada asas hukum yang menyatakan  "siapa yang mendalilkan, dialah yang harus membuktikan -- affirmandi incumbit probatio "

Model Lembaga PraPeradilan ala KUHAP ini berbeda dengan sistem di Negara-negara lain baik yang menganut continental law, dan terutama pada  sistem Common Law, atau Anglo Saxon. Perancis mengenal investigating judge, di Belanda ada Rechten Commissaries, sedangkan di Amerika Serikat ada judicyal srutinity.Fungsi mereka termasuk melakukan pengujian yuridis terhadap keabsahan upaya paksa, pengujian materil terhadap keabsahan bukti permulaan yang cukup, dan pengujian terhadap ketepatan pasal-pasal pidana yang diancamkan. Dengan demikian, hak-hak warga negara benar-benar terlindungi. Pencabutan atau pembatasan hak-hak tersebut harus benar-benar secara prosedural dan substantif materiil telah memenuhi persyaratan yang dibenarkan oleh hukum.

Revolusi pada Lembaga Praperadilan Indonesia -- menguji keabsahan penetapan TERSANGKA

Apa bila dibaca secara per se dan letterlijk TIDAK ADA kewenangan Lembaga Praperadilan untuk menguji status sah tidaknya seseorang sebagai tersangka. KUHAP (pasal 1 ayat 10 dan pasal 77) hanya berbicara terhadap treatment kepada subjek hukum yang bersangkutan (apakah ditangkap atau ditahan), tetapi BUKAN apakah yang bersangkutan sah dinyatakan sebagai tersangka atau tidak. Kekosongan hukum (rechtvacuum) ini banyak dikeluhkan oleh penggiat hukum dan HAM di Indonesia. Yang mulia Hakim Sarpin pada Praperadilan Bapak Budi Gunawan melakukan terobosan dan penemuan hukum (rechtsvinding). 

Penerbitan SPRINDIK (Surat Perintah Penyidikan) yang mencantumkan  status  TERSANGKA diperintahkan untuk dinyatakan tidak sah menjadi objek permohonan untuk diperiksa di Praperadilan. Kemudian "Yurisprudensi" ini diikuti antara lain oleh Yang Mulia Hakim Haswandi pada Praperadilan bapak Hadi Poernomo, dan belum lama ini oleh Yang Mulia Hakim Cepi Iskandar pada sidang Praperadilan bapak Setya Novanto. Permohonan Praperadilan pada ketiga kasus di atas dikabulkan oleh Hakim. Ada juga beberapa Praperadilan para tokoh yang terseret pidana yang tidak dikabulkan oleh Hakim Praperadilan. Misalnya, kasus yang menimpa bapak Harry Tanoe, ibu Miryam, Bapak Dahlan Iskan. Ada juga yang tidak jadi mengajukan Praperadilan seperti dalam kasus bapak Patrialis Akbar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun